II

110 78 67
                                    


Selamat membaca fren ( ˘͈ ᵕ ˘͈♡)


◐◒◓◑

Harsa membuka matanya, kepalanya pening. Ia mengerjap, perlahan bangkit dari baringnya. Seekor kucing putih nangkring di perutnya, mengeong pelan. Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar, semuanya terlihat sangat HD disini, tidak seperti gambar soal di kertas ujian. Buram.

"Dimana?"

"Kelihatannya kita tersesat, Pastel," gumam Harsa sambil mengelus kucing di pangkuannya. Kucing itu mengeong pelan, suka dengan panggilan barunya, Pastel. Ia menamainya begitu karena, karena.. tidak ada hubungannya, pfft, kucing itu cocok saja dilabeli nama Pastel.

Ia menoleh, kebun saffron yang sangat luas sejauh mata memandang. Bunga-bunga saffron yang tumbuh tampak seperti hamparan karpet ungu, dan jangan lupakan langit biru bersih jarang awan. Hari ini matahari menjalankan tugasnya terlalu bersemangat, silau, boy.
Sama sekali tidak punya ide dimana sekarang ia berada.

Harsa berdiri, berjalan memutar, mencari jalan, menelinguk. Berlarian kesana kemari dan tertawa. Upaya yang sia-sia, membuatnya semakin memblasuk. Sekarang ia menemukan sebuah hutan suram di samping kebun saffron. Kontras sekali. Ranting-rantingnya besar bercabang, menghalangi sinar matahari untuk bertamu.

"Well, Pastel, kelihatannya kita punya sedikit masalah," Harsa mulai berbicara pada kucing. Ia berhenti berjalan dan menghela napas keras-keras.

"Tentu saja kamu punya,"

Demi Dewa Neptunus di Bikini Bottom, jantung Harsa hampir melorot ke perut. Tiba-tiba saja muncul seorang pemuda, berdiri garang sambil menodongkan busur anak panah ke arahnya. Rambut eboninya bergoyang tertiup angin, mata crimsonnya menatap nyalang.

Perawakannya terlihat besar, ditambah baju boros kain berlapis-lapis yang menempel di tubuhnya itu. Ia seperti lemari baju berjalan. Menatapnya saja sudah gerah.

"Siapa namamu!?"

Pemuda itu mengeratkan cengkramannya pada tali anak panah, sama seperti Harsa yang gugup mengeratkan pelukannya pada Pastel, kucing itu sepertinya tercekik.

"Jangan bergerak atau aku akan membunuhmu."

"Hei, hei, tenang dulu. Turunkan panahmu dulu baru aku mau menjawab."

Pemuda itu mendengus, menurunkan anak panahnya. Ia menyilangkan kedua tangannya di dada, menatap tajam ke arah Harsa.

"Siapa namamu?!" ulangnya lagi.

Harsa menghembuskan napas, bersiap-siap mengenalkan diri.

"Pharsaphina Adara, kau bisa memanggilku Harsa."

Harsa mengulurkan tangannya, pria itu menatap uluran tangannya heran, merendahkan. Fine, Harsa menarik uluran tangannya.

Pemuda itu mengerutkan alisnya, "Nama yang aneh."

Harsa mencibir, "Terimakasih. Asal kau tahu saja namaku berasal dari nama Persephone, dewi musim semi dan bunga. "

Harsa mendongakkan dagunya bangga, mungkin itulah alasanku diutus kesini. Dewi musim semi diturunkan di taman bunga, wah, sungguh indah-tunggu atau malah aku dibuang?

Berdebat dengan pemuda itu membuatnya lupa alasan kenapa ia bisa disini.

"Hei... kalau boleh tahu aku ada dimana?"

"Dimana?" pemuda itu terkekeh menyebalkan, "Kau berada di daerah kekuasaanku, aku adalah raja di daerah ini, jadi tentu saja kau harus menghormatiku, nona," ia tersenyum menyombong, menyisir rambutnya ke belakang. Harsa ragu.

Dia bukan raja suku primitif yang sering merebus orang untuk makan malam, kan? Lalu menyuguhkannya pada tamunya,
'Ladies and Gentleman, dinner time~'
Tidak, semoga tidak.

"Darimana asalmu? Jangan bilang kau berasal dari Kerajaan Senjjua!"
Pemuda itu menatap horror ke arah Harsa, bersiap-siap untuk menodongkan anak panahnya lagi. Melihat respon perlawanan darinya, Harsa bisa menyimpulkan Kerajaan Senjjua yang disebutkan pemuda itu adalah kerajaan musuh. Jadi mari kita berpura-pura tidak tahu saja.

"Aku juga tidak tahu. Aku berasal dari Bandung.."
Suara Harsa merendah di akhir, ia menduga kalau pemuda itu pasti tidak akan tahu. Pemuda itu memicingkan mata, kemudian menghembuskan napas, tatapannya melembut. Baguslah, setidaknya kau bukan dari sana.

"Baju model apa itu?" pernyataannya diabaikan, tunjuknya dengan anak panah yang rasa-rasanya kalau tangannya terselip, bisa tertembak ke arahnya. Harsa menatap ngeri, pemuda itu tidak bercanda soal akan membunuhnya rupanya.

Harusnya ia yang bertanya, baju model apa itu, ke laki-laki di depannya. Sejenis mantel yang dipenuhi syal yang melilit tidak berguna, belum lagi jubah-jubah yang terlihat berat.
Kenapa malah dia yang banyak bertanya, aku juga punya banyak pertanyaan yang harus ditanyakan tahu, dasar cerewet. Batin Harsa.

"Apa kau tidak pernah melihat kaos?"

"Ahh, aku paham. Kau hanya tahu satu model baju saja," Harsa mendongakkan bahunya, menatap sang raja dari atas ke bawah.

Ayolah, pemuda ini lebih mirip remaja labil yang main raja-rajaan daripada raja benaran, gemas untuk tidak mengejek.

Pemuda itu merengut tetapi ia diam saja, tidak bisa menjawab. Ia menatap kosong ke sabana saffron di depannya, mata jernihnya memantulkan ungu dengan apik.

"Kalau ingin aku juga tidak mau, tahu."

Harsa bergeming, tiba-tiba saja merasa sedikit bersalah dengan ucapannya. Ia hendak membuka mulutnya--

◐◒◓◑

"Weh-weh, ngapai--" kalimat Harsa tersendat. Pemuda itu cepat-cepat menariknya bersembunyi di balik pohon birch tua. Masuk ke dalam hutan.

Pemuda itu melotot, menempelkan jari telunjuk ke mulutnya. Harsa yang awlanya bingung, pun, mengerti. Ia bisa mendengar derap langkah kaki menuju kesini. Derap langkah itu semakin mendekat, Harsa mati-matian menahan napas. Serius sekali rupanya perkara ini, ia jadi takut juga kalau misal-misal ketahuan.

Ia menatap mata crimson milik pemuda di sampingnya yang diam-diam melongok cemas, sangat tidak santai.

Banyak pertanyaan yang belum sempat ia tanyakan menggenang di kepalanya.

II Fin.

Silahkan comment
Jangan lupa vote ૮₍˶ᵔ ᵕ ᵔ˶₎ა

-z

#exproject

Amigdala,  COMPLETEDWhere stories live. Discover now