III

107 73 36
                                    


Selamat membaca fren  ( ˘͈ ᵕ ˘͈♡)

◐◒◓◑

Kalau kamu nyuruh dunia ngertiin kamu, kamu nggak akan bisa tumbuh.

◐◒◓◑


"Sepertinya tadi aku melihatnya disini."

"Lalu dimana dia? Apa mungkin kau salah lihat?"

"Kita cari saja dulu di sekitar sini."

Sial. Sial. Sial. Langkah kaki itu semakin mendekat ke arah pohon tempat mereka bersembunyi. Bisa dinalar beberapa langkah saja mereka  bisa menemukan pohon ini.

Mereka terduduk diam, kaku. Harsa semakin gencar menahan napasnya. Pun pemuda di sampingnya, bergerak se-inchi saja tidak. Mengesampingkan sorot ketakutan, tersirat kejengkelan di matanya.

"Dimana, sih, putra mahkota itu. Seharusnya sekarang dia berada di istana."

"Raja akan marah besar kalau putra mahkota tidak mengikuti latihan penobatan."

"Sudah, sepertinya dia tidak ada di sini. Kita cari saja di tempat lain."

Selepasnya para pengawal itu pergi, pemuda itu menghela napas lega, tidak sebelum matanya bersibobrok dengan tatapan mengejek Harsa.

"Kenapa bersembunyi, raja?" seringai Harsa, menekankan kata 'raja' dengan sengaja.

Pemuda itu memutar bola matanya malas, "Fine. Aku bukan raja, aku hanya membual."

Harsa mengangkat kedua alisnya heran.

"Kenapa kabur dari latihan penobatan? Bukannya kamu ingin jadi raja?"

Mereka berjalan menyusuri hutan, sebelum disingkap memang hutan itu terlihat gelap dan dingin. Namun saat mereka permisi menerobos masuk, hutan itu surprisingly hangat—dan, hei, sepertinya tadi ia melihat kelinci putih melompat.

Lihat lebih dekat untuk lebih mengerti, kalimat itu benar juga.

Pemuda itu mengangguk. Ia memang ingin jadi raja, tetapi dipikir-pikir lagi, itu artinya selama ia menjabat jadi raja ia akan mengurusi seluruh urusan kerajaan—hajat banyak orang, diskusi dengan kolega kerajaan—yang kadang memandang status—perihal hal yang sama berulang kali, memasang wajah ramah senyum pepsodent sampai kaku di dinner formal kerajaan—baginya acara itu hanyalah kemunduran mental yang rasanya—

DAMN.

Memikirkannya saja lelah. "Kau pikir ada cara untuk kabur dari ini semua?" desahnya dramatis.

"Aku benci politik," sambungnya lagi sambil mengamati pantulan wajahnya di danau.

Harsa mendekat, untuk mengamati air danau yang sangat jernih, batu-batu di dasar sampai kelihatan. Danau ini top tier untuk cuci mata.

"Kenapa kau tidak kabur saja?"

"Memangnya aku bisa?!" racaunya sambil melempar kerikil kecil ke kolam, nada tingginya sudah cukup untuk membuat burung-burung yang bertengger di situ minggat.

Plung.

Ia melempar kerikil lagi.

Plung.

"Aku bisa membantumu," air danau beriak tak tenang karena kerikil tadi.

"Caranya?" Pemuda itu berhenti melempar kerikil, mengalihkan atensinya pada Harsa—yang sekarang gantian melempar kerikil.

"Kabur saja di hari penobatanmu."

Plung.

"Kau bisa berpura-pura mati,"

Plung.

".. lalu kabur."

Pemuda itu membulatkan mata,
"Ide ba—"

"Tidak." Harsa berhenti melempar kerikil ke kolam—dilemparkannya ke pria itu. Apa dia sangat putus asa untuk tidak jadi raja?

"Tidak akan ada yang berpura-pura mati," diam-diam Harsa terhenyak karena pemuda itu ternyata menanggapinya serius. Datang ke kerajaan asing lalu mengajak putra mahkota kabur dari penobatan? Not even in her wildest dream—lagipula itu terdengar seperti kawin lari.

Mata crimson pemuda itu menatapnya dengan tatapan oh-ayolah-kau-tidak-seru. Entahlah, Harsa hanya merasa ia sudah mengenal pemuda itu sangat lama, sampai-sampai ia fasih men-translate tatapan matanya. Aneh.

"Aku tahu kamu cukup pandai untuk mengerti," dan tidak perlu diberi pelajaran untuk mengerti.

"Kalau kau jadi rakyat, kau tidak ingin rajamu kabur, kan?"

Pengecut. Kalau ia jadi rakyatnya ia akan mengirim santet—tentu saja— ke rajanya yang kabur karena alasan... egois.

Pemuda itu terdiam. Perkataan Harsa memang benar. Raja pengecut itu adalah dirinya, namun dikatakan langsung seperti itu, seperti menjotosnya tepat di hidung. Ah, mungkin juga nanti ada yang mengirim santet.

Ia berbalik pergi.

"Tunggu—tunggu kau mau kemana?"

"Pulang, lah. "

Dan meninggalkanku sendirian di sini? Oh, ayolah hari sudah mulai gelap. Batin Harsa menjerit.

"Ada perumahan di dekat sini," gumam pemuda itu, memberikan secercah harapan untuk Harsa.

"Cari saja sendiri," lanjutnya.

Tch, Harsa berdecak.

"Aku serius. Sudah kelihatan, tahu."
Tunjuknya ke arah timur. Oh, iya. Memang ada perumahan.

"Sudah, ya, Harsa."

"Oh iya! "

" Kenapa ngagetin, sih? "
Pemuda itu berbalik, wajahnya sebal. Harsa terkekeh geli.

"Diingat-ingat, aku belum tahu namamu."

"Tidak akan kuberitahu."

"Baguslah, aku juga sudah punya panggilan untukmu, King!"

Pemuda itu mendelik tajam, sebelum kemudian melenggang pergi.

Menyebalkan, dasar anak setan. Lain kali aku harus membawa garam untuk mengguyurnya. Batinnya mencak-mencak.

◐◒◓◑

Pemuda itu menatap bangunan kokoh yang berdiri gagah di hadapannya. Mendominasi, besar sendiri di antara rumah-rumah kecil yang mengelilinginya. Dan masih saja berdiri di situ—maksudku dia tidak akan keberatan semisal bangunan itu ambruk atau apalah. Dia bisa kabur dari 'istana megah' nya itu.

Ia membenarkan letak jubahnya, sebelum kemudian berjalan tegap ke depan. Harsa benar—bajunya ini mubazir kain, sulit untuk bergerak sekarang.

Orang-orang—pelayan, pengawal rakyat biasa, tamu, mereka semua menunduk hormat saat ia berjalan masuk. Ia tersenyum masam, sedikit menyesali usulan kabur yang melintas di kepalanya. Bagaimana bisa ia kabur dari orang-orang yang menaruh harapan padanya?

III Fin.

Silahkan comment
Jangan lupa vote ૮₍˶ᵔ ᵕ ᵔ˶₎ა
-z
#exproject

Amigdala,  COMPLETEDحيث تعيش القصص. اكتشف الآن