ada luka diantara tawa

184 18 3
                                    

Pria paruh baya itu masih terus membicarakan anaknya. Memceritakan bagaimana anaknya terus berusaha tanpa mengenal lelah. Menceritakan bagaimana anaknya terus berusaha tanpa mengenal malu. Raut wajahnya terlihat sangat bahagia. Pria itu pasti bangga dengan pencapain anaknya.

"Jadi begitu ya pak? Luar biasa, sekarang hidupnya pasti udah enak."

"Arkan memang pekerja keras. Kalo dia menginginkan sesuatu, dia pasti mengusahakannya sampai dapat."

Bianca hanya mendengarkan dengan sebelah telinganya. Terpaksa mendengarkan dengan malas. Bosan sungguh, tak ada hal lain yang diceritakan orangtuanya ini.

Jika dibilang, tentu saja Bianca cemburu. Namun ia bisa apa? Tak ada hal menarik yang bisa di ceritakan dari dirinya. orangtuanya hanya bangga pada abangnya, dan hanya selalu bangga pada abangnya itu. Sampai kapanpun, dirinya hanya dianggap sebagai anak yang tak bisa apa-apa.

Biarlah ia selalu diam, yang tau biarlah tetap begitu, juga yang tidak tau biarlah untuk selalu tidak tau. Bianca capek, sudah sering dirinya ingin membuktikan bahwa dirinya juga bisa di banggakan, namun pada akhirnya hanya di anggap menghabiskan waktu saja.

Usahanya tak prnah dihargai sebagai usaha yang sesungguhnya. Sebesar apapun usahanya, hanya Arkan abangnya yang pada akhirnya menjadi kebanggaan. Sukses, penurut, semua kesempurnaan itu ada pada Arkan.

PRANG.

Bianca terbangun dari tidurnya mendengar suara bising dari dapur. Segera ia memeriksa takut-takut ada maling yang masuk ke rumahnya. Ternyata hanya kucing yang tak sengaja menyenggol gelas lalu gelas itu jatuh dan pecah. Huft, bikin kaget. Ucap Bianca dalam bisiknya. Nyawanya seakan belum terkumpul, masih setengah mengambang karena bangun secara tiba-tiba juga membuatnya sedikit pusing.

Bianca membasuh mukanya dan duduk di lantai depan kamarnya. Menyandarkan punggungnya pada dinding sambil tanganya memegangi kepala. Ingatanya kembali pada beberapa saat yang lalu. Ternyata semua itu hanya mimpi. Ternyata mimpi, ucapnya lagi pada dirinya sendiri.

Bagaimana orangtuanya lebih bangga pada abangnya dan selalu bangga pada abangnya. Mungkin, bisa juga menganggap dirinya tak pernah ada.

Entahlah, itu terdengar terlalu kasar jika menganggap tak pernah ada. Orangtuanya selau memberi uang, menelfon setiap saat, memberi nasehat, itu cukup untuk menjadi orangtua yang sempurna.

Namun sayangnya, Bianca-lah yang salah. Bianca yang terlalu tamak menganggap itu tak pernah cukup. Ia yang selalu merasa jika perlakuannya itu dibedakan dengan yang lain.

Sejujurnya, Bianca juga ingin namanya disebut didepan orang lain. Ingin orangtuanya menceritakan, betapa hebatnya anak perempuaanya ini. Ingin mendengar bahwa orangtuanya ini bangga memiliki anak seperti dirinya.

Bianca yang terlalu ingin di akui sehingga ia melakukan segala cara untuk mencapai itu. Segala apa yang dilakukannya sekarang, kerja keras dan ingin mandiri semata-mata hanya karena ia ingin dianggap. Ingin orangtuanya bangga pada dirinya. bahwa selama ini, ia juga bisa berdiri dengan kedua kakinya sendiri tanpa menyusahkan siapapun.

...

Bianca menghabiskan hari minggunya di rumah saja. Mematangkan bagaimana konsepnya untuk mulai membangun bisnis itu. Ia sudah mulai mempertimbangkan semuanya, semakin sering ia gagal, maka semakin dekat pula dengan keberhasilannya bukan?

Tak terasa, berguling sana berguling sini, kini waktu sudah menunjukan pukul sebelas siang. Perutnya sudah keroncongan minta di isi. Sedangkan hari ini Bianca tak ada memasak apapun, ia juga belum ada memakan apapun sejak pagi tadi.

DIBALIK LUKA (END)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang