#24 : Ice Cream

8.3K 757 14
                                    

Taylor menoleh kepada Harry. Dia dan Harry tengah berjalan, berdampingan di taman tempat Taylor biasa bermain dulu. Harry yang meminta Taylor untuk mengajaknya ke tempat-tempat menarik di Nashville dan sekarang, saat Taylor sudah memberitahu salah satu tempat menarik itu, Harry hanya diam. Tak berbicara apapun.

"Apa kau akan tetap diam seperti itu?" Taylor bertanya ragu-ragu, masih sambil terus melangkahkan kakinya.

Harry meliriknya sekilas sebelum menjawab, "aku tak tahu."

"Apa kau marah padaku?" Taylor kembali bertanya. Harry menggelengkan kepala.

"Lalu, kenapa kau diam saja? Kita sudah sampai di sini. Aku sudah menunjukkan tempat yang menurutku menarik di Nashville." Taylor mengerucutkan bibir dan mulai melipat tangan di depan dada. "Jika kau tidak suka, lebih baik kita pergi. Daripada kau hanya diam saja seperti ini. Aku benci melihatmu diam saja."

Harry menghentikan langkahnya. "Jika aku harus bicara, apa yang harus kita bicarakan?" tanya Harry. Taylor mengedikkan bahu. "Tak tahu. Yang jelas, bicaralah. Aku tak suka berada di dekat orang yang hanya diam saja. Kau membuatku merasa bersalah. Aku pikir, aku melakukan sesuatu yang membuatmu marah dan kesal."

"Kau tidak membuatku marah dan kesal, Taylor. Well, baiklah. Apa kau mau ice cream itu?" Harry menunjuk ke arah penjual ice cream yang tampak tengah dikerumuni oleh beberapa orang pembeli. Taylor mengikuti ke mana arah telunjuk Harry menunjuk dan menganggukkan kepala.

"Aku mau rasa vanilla." Ujar Taylor, seakan telah melupakan mood buruknya tadi. Harry tersenyum dan mengangguk. "Kau cari tempat duduk dan aku akan membeli ice cream. Okay?" perintah Harry. Taylor menganggukkan kepala. Harry pun berjalan menuju ke penjual ice cream tersebut dan Taylor mulai mengedarkan pandangannya, mencari tempat duduk untuknya dan Harry.

Setelah Taylor menunggu cukup lama di bangku taman yang sudah dia dapatkan untuknya dan Harry, akhirnya Harry datang dengan dua cone ice cream di tangannya. Harry menyodorkan satu cone kepada Taylor dan Taylor menerimanya dengan ceria. Kemudian, Harry duduk di samping Taylor, mulai menikmati ice creamnya.

"Aku tak tahu jadi apa hidupku tanpa ice cream," Taylor bergumam dan membuat Harry menoleh kepadanya. Taylor tampak sangat menyukai ice creamnya. Dia menjilati ice cream dengan sangat lahap. Senyuman muncul di bibir Harry dan mulai kembali menikmati ice creamnya.

"Sewaktu kecil, aku, Abigail dan James sangat sering memakan ice cream bersama. Aku suka rasa vanilla, Abigail suka rasa strawberry dan James suka rasa cokelat." Taylor bercerita, masih fokus dengan ice creamnya. Harry menaruh perhatian dan memiringkan sedikit posisi duduknya sehingga menatap Taylor.

"Jadi, kau dan pria bernama James itu sahabat? Aku pikir, dia pria yang kau bicarakan kepadaku, saat aku menanyakan tentang pria yang kau sukai waktu itu," ujar Harry. Taylor menoleh kepada Harry dan tersenyum. "Sejujurnya, iya. Tapi, seperti yang sudah kuberitahu sebelumnya pula, James tidak menyukaiku lebih dari teman. Dia hanya menganggapku teman dan selamanya akan seperti itu."

Harry dapat menangkap kesedihan di mata Taylor. "Jika dia jodohmu, dia tidak akan pergi ke manapun. Dia akan kembali padamu, tak peduli apapun yang terjadi." Taylor mengangguk setuju mendengar ucapan Harry.

"Tapi, sepertinya dia bukan jodohku. Aku juga tak terlalu berharap untuk menjadi jodohnya. Dekat dengannya saja, sebagai sahabat sudah sangat cukup bagiku." Taylor menatap lurus ke depan. Harry menghela nafas, menatap garis wajah Taylor dari sisi kiri. Dia terlihat sangat memukai. Garis wajahnya sempurna. Harry baru menyadari itu.

"Dulu, aku selalu percaya pada dongeng. Sekarang, aku juga masih percaya pada dongeng. Kelak, aku pasti akan bertemu dengan pangeranku." Taylor menoleh kembali kepada Harry dengan senyuman di bibirnya. Nafas Harry tertahan. Harry menggigit bibir bawahnya. "Bagaimana jika akulah pangeranmu itu?" Harry tak tahu bagaimana bisa pertanyaan itu mengalir dari bibirnya.

No ControlWhere stories live. Discover now