#55 : Sorry

6.7K 664 14
                                    

Seharusnya, berada di London tidak semenyiksa ini. Berkali-kali Taylor harus berusaha mengabaikan keberadaan pria yang pernah-atau bahkan masih-dicintainya tersebut, walaupun pria itu jelas-jelas menyangka jika Taylor adalah gadis yang hanya menginginkan hartanya. Padahal, Taylor tak pernah bermaksud seperti itu. Awalnya, Taylor memang membutuhkan Harry untuk membantu keuangan keluarganya namun, Taylor berjanji akan menggantinya, kan? Taylor tak pernah benar-benar mengincar harta Harry.

Taylor duduk termenung di sebuah Starbucks. Sendirian. Tanpa Abigail, tanpa Karlie atau bahkan tanpa Gemma. Teman-teman Taylor itu pergi entah ke mana, meninggalkan Taylor yang memang bangun paling belakangan di kamar hotelnya. Taylor jelas bukan orang yang senang hanya berdiam diri di kamar. Taylor memberanikan diri pergi ke Starbucks seorang diri.

Kopi milik Taylor sudah tertinggal separuhnya. Taylor menghela nafas dan mulai meraih ponsel yang ada di atas mejanya. Taylor memainkan jari-jarinya di atas layar ponsel tersebut. Dia sendiri bahkan tak mengerti, apa yang sedang dia lakukan. Yang jelas, dia sangat bosan saat ini dan menyesal, kenapa dia tidak kembali ke Nashville sejak beberapa hari lalu. Jika Taylor kembali ke Nashville, dia pasti tak akan merasa sebosan ini.

"Hei,"

Taylor menghela nafas saat mendengar suara itu. Taylor tak menoleh sedikitpun. Matanya masih terfokus pada layar ponselnya. Tanpa melihat siapa pemilik suara itu, Taylor sudah mengenal jelas suaranya. Suara serak seorang pria tersebut.

"Aku minta maaf atas ucapanku beberapa hari lalu," pria itu kembali berujar, kali ini sambil menarik kursi kosong di dekat Taylor. Taylor masih mengabaikan pria itu. Taylor memasang wajah datar, dengan ekspresi yang sangat sulit ditebak.

Pria itu-Harry-mendesah. "Tay, aku benar-benar minta maaf atas ucapanku beberapa hari lalu. Aku tak bermaksud menyakitimu. Gemma menceritakan semuanya padaku. Tentang tujuanmu ke London, pertemuanmu dengan Gemma dan pria model itu. Aku minta maaf. Tidak seharusnya aku berpikir sebodoh itu. Tidak seharusnya aku mengatakan sesuatu yang pasti menyakiti perasaanmu." Taylor hanya diam dan mulai berhenti memainkan jari-jarinya di layar ponsel.

"Kau tak tahu seberapa hancurnya aku saat kau pergi. Kau menyakitiku. Sangat menyakitiku. Aku pergi ke apartemenmu pagi itu dan kau sudah tak ada di sana. Petugas kebersihan itu mengatakan jika kau sudah pindah dan kembali ke Nashville. Aku mengejarmu ke bandara dan sebelum aku mencapai bandara, kau mengirimiku voicemail yang sampai detik ini masih kusimpan di ponselku supaya tiap aku merindukanmu, aku dapat mendengarkan suaramu di voicemail tersebut walaupun, menyakitkan." Taylor menggigit bibir bawahnya saat mendengar pengakuan Harry tersebut.

"Kemudian, aku berjanji tak akan kembali lagi ke Styles Enterprise karena itu adalah tempat yang paling menyimpan banyak kenangan antara kau dan aku. Aku berusaha untuk melupakanmu. Aku berusaha untuk tetap melanjutkan hidupku tanpamu. Seperti yang kau harapkan dalam voicemailmu. Aku berusaha, Tay. Aku berusaha tapi, aku tak bisa." Harry menundukkan kepala.

"Aku mabuk. Aku bersenang-senang dengan banyak gadis. Semua itu adalah bentuk pelampiasanku dari rasa patah hati karena kepergianmu itu. Setidaknya dengan mabuk dan bersenang-senang, kau bisa lenyap dari pikiranku walaupun, hanya sementara." Untuk pertama kalinya, Taylor menoleh kepada Harry.

"Saat kita kembali bertemu, beberapa hari lalu, kau tak tahu seberapa senangnya aku. Aku sangat senang dan berpikir jika Tuhan masih bersikap adil karena membawamu kembali padaku tapi, melihat kedekatanmu bersama model itu, membuatku benar-benar hilang kendali. Setelah kau pergi bersama Gemma dan pria itu, saat after party, kau tak tahu, kan, apa yang kulakukan? Aku menghabiskan tiga botol wine dan butuh dua orang untuk membawaku pulang ke rumah setelahnya." Harry menghembuskan nafas dan memejamkan mata, masih menundukkan kepala.

No ControlWhere stories live. Discover now