#31 : Choice

7.7K 747 64
                                    

"Merasa lebih baik?" Harry bertanya, seraya meletakkan secangkir kopi hangat di atas meja di dekat Taylor dan secangkir kopi hangat lainnya di atas sisi meja yang dekat dengannya. Taylor tersenyum tipis dan menganggukkan kepala. Harry menarik kursi dan duduk di tempatnya semula.

"Terima kasih, Harry." Taylor berujar cepat. Harry mengangkat sebelah alisnya. "Terima kasih? Untuk apa?" tanya Harry, bingung.

Taylor kembali tersenyum, meraih cangkir kopinya dan meneguknya perlahan sebelum kembali meletakkan cangkir tersebut di atas meja. "Kau menolongku lagi, di saat aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Kau sudah sangat banyak menolongku."

Harry balas tersenyum. "Kau juga sudah banyak menolongku. Jadi, kita seimbang, kan?"

Kemudian, keduanya diam. Taylor menundukkan kepala, menatap ke arah cangkir kopinya dengan tatapan hampa sedangkan, Harry hanya memerhatikan Taylor dengan penuh simpati. Harry benci melihat Taylor yang seperti ini. Harry benci melihat Taylor yang berubah menjadi pendiam. Harry lebih senang bersama Taylor yang banyak bicara, walaupun tak jarang Taylor lebih sering mengganggu.

Harry menarik nafas dan menghelanya perlahan, sebelum membuang pandang ke arah luar cafe, tempatnya dan Taylor berada. "Kau tahu? Dulu, saat aku baru pindah ke rumah baruku di London, aku sempat mempunyai sahabat. Semuanya pria. Jumlahnya empat orang. Kami saling mengenal karena orangtua kami saling berhubungan dengan baik walaupun, hanya hubungan bisnis. Tapi, mereka berempat adalah sahabat pertama yang kupunya. Aku menyayangi mereka. Aku sudah menganggap mereka sebagai saudaraku sendiri."

Taylor mengangkat wajahnya, mendengar cerita Harry. Taylor selalu tertarik mendengar cerita Harry. Harry punya kehidupan yang menurut Taylor terdengar sangat aneh dan menarik. Tapi, Taylor tak pernah membayangkan, bagaimana jadinya dia jika dia adalah Harry.

"Kami berlima sangat dekat. Kemanapun kami bersama. Kami melakukan apapun bersama. Semua itu terjadi karena kami mempunyai latar belakang yang sama. Kami sama-sama kurang mendapat perhatian orangtua. Kami sama-sama kurang mendapat ajaran tentang sosialisasi. Kami sama-sama selalu mendapatkan apa yang kami inginkan, tanpa perlu tahu darimana kami mendapatkan hal tersebut." Harry menarik nafas dan mengalihkan pandangannya kepada Taylor. Harry tersenyum tipis.

"Hingga akhirnya, seorang gadis masuk ke dalam kehidupan kami. Saat itu, usia kami masih sekitar 14 tahun. Bisa dikatakan cinta monyet atau semacamnya. Yang jelas, semenjak kedatangan gadis itu, segalanya berubah. Kami berlima saling berkompetisi untuk mendapatkan perhatian gadis itu. Hingga akhirnya, satu per satu dari kami, mulai saling menjauhkan diri." Harry menundukkan kepala.

"Satu per satu sahabatku itu menyerah dan menjauh. Satu orang pergi ke Bradford, dengan alasan ingin mengembangkan bakatnya dalam bidang menggambar, satu orang pergi ke Irlandia entah melakukan apa dan satu orang lagi pergi ke Doncaster untuk bergabung dengan salah satu klub sepak bola yang ada di sana, mengingat bakatnya di bidang tersebut." Taylor masih memperhatikan dengan jelas cerita Harry tersebut.

"Kemudian, tinggalah dua orang, yaitu: aku dan salah satu temanku tersebut. Kami bersaing secara sehat sebelum akhirnya, temanku itu mengalami sesuatu yang tak pernah dia harapkan sebelumnya. Orangtuanya mengalami kecelakaan mobil dan tewas seketika. Perusahaan orangtuanya yang sudah susah payah di bangun, diambil alih oleh orang lain yang tadinya, mereka sangat percaya. Temanku itu mengalami depresi yang cukup mendalam, sebelum akhirnya, orangtuaku memutuskan untuk membantu dalam kehidupannya." Harry mengambil nafas dan menghelanya perlahan.

"Tapi, semenjak itu, semuanya benar-benar berubah. Aku dan dia tak dekat lagi, seperti dulu. Bahkan, aku tak yakin, dia masih menganggapku temannya. Dia bersikap dingin padaku dan aku balas bersikap dingin padanya. Aku tak tahu, apa yang ada di pikirannya." Harry tersenyum sedih dan Taylor menahan nafas sesaat. Taylor diam, mencoba mencerna maksud cerita Harry dan sebuah nama muncul dalam pikirannya.

No ControlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang