#28 : Country Music

8.2K 736 12
                                    

"Seharian ini...aku tak bisa berhenti memikirkanmu, Harry."

Harry mengernyit mendengar ucapan Taylor tersebut. Refleks, Harry menekan pedal gas dan membuat Taylor membulatkan matanya terkejut. Untungnya, kali ini Harry menghentikan mobilnya tepat di tepi jalan, bukan di tengah jalan seperti waktu itu.

“Apa yang kau lakukan, Bodoh? Kau mau membuatku mati atas tindakan bodohmu ini?!” Taylor berujar kesal. Harry terkekeh. “Maaf, maaf. Aku hanya terkejut atas ucapanmu tadi. Jadi, benarkah itu? Kau memikirkanku? Sedari tadi? Makanya kau diam saja?” tanya Harry bertubi-tubi. Taylor melipat tangan di depan dada dan membuang pandangan ke sisi kirinya. “Kau sudah mendengar jelas ucapanku tadi.” Taylor berujar ketus.

Harry tersenyum lebar. Ini untuk pertama kalinya Harry menemukan seseorang yang sangat jujur. Taylor selalu berkata jujur. Harry bahkan sangsi jika Taylor pernah berbohong, walaupun mungkin saja pernah karena terpaksa. Tapi, untuk kali ini, kejujuran Taylor itu seakan memberikan aliran listrik tersendiri di dalam tubuh Harry. Harry bahagia, Taylor memikirkannya.

“Taylor,”

Harry memanggil nama gadis itu dengan lembut. Taylor menarik nafas dan secara perlahan menoleh ke arah Harry yang tersenyum tulus padanya. “Terima kasih.” Harry menambahkan. Taylor mengernyit. “Terima kasih? Untuk apa?” tanya Taylor bingung.

“Karena kau sudah memikirkanku. Kau peduli padaku. Aku senang mendengarnya.” Harry menjelaskan.

Taylor menyeringai. “Kau tahu? Aku selalu peduli padamu. Kau saja yang terkadang tidak menyadari hal itu.” Taylor berujar ketus dan mengalihkan pandangannya, lurus ke depan. Taylor menyandarkan kepalanya pada sandaran bangku kemudi, berusaha menghindari kontak mata langsung dengan Harry yang sejujurnya membuat getaran aneh dalam dirinya.

“Apa yang membuatmu peduli padaku? Apa secara tidak langsung kau menyetujui untuk menikah denganku?” tanya Harry yang kali ini, membuat Taylor mau tak mau menoleh kepada pria itu lagi, mendapati seringaian memikatnya. Taylor memutar bola mata. “Apa aku sudah bilang untuk menyetujui semua itu? Well, sejujurnya, jika bukan karena keluargaku, aku tak mau bertahan lama-lama denganmu.”

Harry mengernyit. “Apa yang salah denganku?” tanya Harry heran. Taylor memang kelewat jujur. Sekalipun dia mengatakan hal yang buruk tentang Harry. “Kau menyebalkan, tak ramah, pemaksa, terlalu berambisi, tak punya hati.” Taylor berujar tanpa rasa bersalahpun. Harry tersenyum tipis. “Itulah aku. Kulihat, kau mampu bertahan cukup lama saat bersamaku. Kau sudah beradaptasi dengan sikapku, kan? Apa yang salah?” tanya Harry lagi.

Taylor menggeleng. “Bukan itu maksudku. Aku memang beradaptasi dengan sikapmu dan mampu bertahan sampai sekarang. Tapi, aku tak pernah tahu apa yang akan terjadi di kelanjutan harinya. Bisa saja, aku tak tahan dan aku memutuskan untuk menyerah. Apa kau akan mengizinkanku ke luar dari semua kerjasama kita?”

Harry menggeleng cepat. “Kau sudah masuk dalam duniaku, Taylor walaupun, didasari oleh perjanjian konyol. Tapi, yang harus kau tahu, sekali kau masuk dalam duniaku, kau tak akan menemukan cara untuk ke luar. Kau akan bertahan selamanya di sana.” Taylor memicingkan matanya. “Walaupun, aku menolak untuk bertahan dan aku memaksa untuk ke luar?”

Harry lagi-lagi memberikan senyuman membunuhnya. “Aku tak akan membiarkanmu ke luar.”

Butuh waktu lama untuk Taylor berpikir, memproses semua ucapan Harry sampai tak

sadar saat perutnya berbunyi akibat lapar. Suasana hening seketika sebelum dia dan Harry tertawa. Harry menarik nafas, mengontrol tawanya sebelum mulai memegang kemudi kembali. Sebelum melajukan mobilnya, Harry sempat menoleh kepada Taylor, berkedip sambil berkata, “aku lupa jika tujuan awal kita adalah makan malam.”

No ControlWhere stories live. Discover now