9

97 4 0
                                    

Aku berlari menuju tempat yang di share oleh Randy. Memang gila aku, ngapain ke sini coba?

Aku melihat kerumunan yang terlihat tegang itu. Aku menerobos masuk. Aku membulatkan mata terkejut melihat Juna yang memukuli laki-laki itu.

Tunggu dulu... Kalau Juna sedang sibuk berkelahi lalu siapa yang menelfonku tadi?

Ayana mikir apa sih? Sekarang bukan itu yang penting. Teman-teman Juna juga hanya melihat Juna memukuli orang itu. Dasar teman tidak berguna.

Aku berjalan menghampiri Juna lalu menarik tangan Juna kencang hingga Juna berdiri.

'gila gue kuat juga ya'

"Kamu gila?" Tanyaku emosi.

Melihat tangan Juna yang berlumuran darah aku semakin menggenggam tangan Juna erat.

Juna menatapku tajam sambil mengatur nafasnya yang tidak beraturan. Aku menatap Randy menyuruhnya membawa laki-laki yang sudah lemas itu dengan gerakan dagu.

Aku kembali menatap Juna tajam. Kali ini aku tidak akan menoleransi perbuatan Juna.

Aku menarik Juna ketempat Juna dan teman-temannya biasa duduk. Mendudukan Juna dikursi.

"Lo apa-apaan sih?" Bentak Juna. "Kamu yang apa-apaan? Udah ngga ada otak? Kalo orang itu meninggal gimana?"

"Bagus, biar mati sekalian" jawab Juna enteng.

Aku mengepalkan kedua tanganku. "JUNA!"

Aku menghembuskan nafas panjang lalu menyugar rambutku frustasi. Benar-benar butuh kesabaran ekstra saat menghadapi orang bebal seperti Juna.

Aku mengeluarkan tisu basah dari sling bagku lalu meraih tangan Juna. Membersihkan darah yang ada di tangannya.

Juna mengacak-acak rambutnya kesal. "Lo ke sini sama siapa?"

Aku tidak menjawab masih fokus membersihkan tangan Juna. Tiba-tiba Juna menarik tanganku, membuat wajanya sangat dekat dengan wajahku.

"Gue lagi tanya Ayana!" Ucap Juna lirih tapi penuh penekanan.

Aku menarik tanganku lalu melempar tisu basahku kepada Juna. "Bersihin sendiri" ucapku dingin.

Aku berbalik pergi meninggalkan Juna dan teman-temannya. Menyusuri jalan sampai halte bus. "Nyebelin. Udah mending gue perduli malah nyolot. Gara-gara Randy nih"

Aku menaiki taksi yang sudah aku berhentikan.

***

Juna POV

"Bos lo ngga mau nyusulin cewek lo?" Tanya Edgar.

Aku kembali mengacak-acak rambutku. Merasa menyesal tadi sudah membentak Ayana.

"Biarin Juna tenang dulu" ucap Febrian tenang.

"Gue balik" aku berjalan menuju motorku. Menjalankan dengan kecepatan tinggi, berusaha menghilangkan rasa gelisah di hatiku.

***

Aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Setelah sampai rumah aku langsung membersihkan diri. Meraih ponselku lalu membuka aplikasi chat.

"Berharap apaan sih gue? Inget Ya, lo cuma barang taruhan" aku kembali menaruh ponselku di atas nakas lalu menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhku.

Keesokan harinya, aku sudah bersiap untuk berangkat kuliah. Hari ini kelasku dimulai pukul sembilan dan sekarang baru pukul setengah delapan. Aku harus cepat-cepat kalau tidak mau terkenan macet, bisa-bisa aku telat.

Aku menuruni tangga lalu menuju dapur. Disana sudah ada mamah yang sedang menyiapkan sarapan dan Randy yang terlihat baru bangun tidur.

"Aya mau sarapan apa?" Tanya mamah lembut. Aku menggelengkan kepala lalu mengambil roti tawar. "Ini aja. Takut kena macet"

Mamah hanya menganggukan kepala. Sudah biasa dengan sifatku yang terburu-buru. "Ayana berangkat dulu. Have a nice day"

Walaupun masih belum bisa menerima mamah dan Randy sepenuhnya aku berusaha untuk tetap menunjukan kesopananku.

Aku keluar rumah sambil memakai sepatu Converse berwarna cream. Membiarkan roti tawar itu menggantung di mulutku. Saat sudah selesai aku menepuk tanganku.

Aku membatu saat melihat Juna duduk di atas motornya sambil memandangku. Ada apa? Kenapa Juna ke sini?

Aku berjalan membuka gerbang lalu menutupnya kembali. Aku berhenti di depan Juna sambil mengangkat satu alisku.

Juna hanya diam saja. Aku mulai jengah dengan sikap Juna. "Ngapain?"

"Jemput lo" jawab Juna sambil memberikan helm bogo berwarna hitam. Aku mengerutkan keningku. "Ngga usah. Saya bisa berangkat sendiri"

Aku berbalik tapi tangan Juna menahanku. "Lo masih marah?"

"Marah? Karna?" Tanyaku balik.

"Tadi malem" jawab Juna. Aku terkekeh. "Ngga tuh. Saya kemarin terlalu bertindak implusif, seharusnya saya ngga nyegah kamu" balasku tenang.

"Na"

Aku menghembuskan nafas panjang. Bisa-bisa nafasku habis duluan kalau berhadapan terus dengan Juna. Aku mengambil helm itu lalu naik ke atas motor Juna dengan bantuan pundak Juna.

Lebih baik mengalah dari pada aku telat. "Buruan waktu saya mepet"

Aku sengaja berbohong agar Juna tidak mengambil kesempatan untuk mengajakku berbicara.

Happy EndingWhere stories live. Discover now