12

102 4 0
                                    

Akhirnya aku tidak menjawab pertanyaan Juna kemarin. Penasaran? Tentu saja. Sebenarnya aku punya jiwa penasaran yang tinggi terhadap sesuatu yang menurutku menarik.

Tunggu dulu... Apa baru saja aku berfikir kalau Juna itu menarik? Huffff, Ayana kendalikan pikiranmu!

Aku beranjar dari meja belajar menuju tempat tidur. Berbaring sambil memainkan ponsel.

"Awww"

Aku terkejut melihat paggilan video dari Juna hingga ponselku menghantam hidungku. "Anjir bikin kaget aja"

Aku mengubah posisiku menjadi duduk lalu mengangkat panggilan dari Juna. Aku melihat Juna di sana dengan penampilan fresh, sepertinya baru mandi.

"Apa?" Tanyaku to the point. Juna terkekeh sambil mengeringkan rambutnya. Aku akui Juna memang tampan.

"Kalo gue bilang kangen lo percaya?" Tanya Juna balik sambil menaikan sudut bibirnya.

Cih, dasar tengil.

"Engga" jawabku jujur. Juna menatapku kesal. Apa aku salah jawab?

"Kamu berharap saya jawab iya?" Tanyaku bingung. "Lo tuh emang dasarnya kaku apa pura-pura? Ngga tau yang namanya pendekatan?"

Aku terkekeh pelan. "Alasan saya harus lakuin itu sama kamu apa?"

Juna menunjukan ekspresi terkejut mendengar pertanyaanku. "Salah pilih nih gue" gumam Juna masih bisa ku dengar. Dasar, dia pasti sengaja. Kalau mau bergumam lebih baik di dalam hati saja.

"Hidung lo kenapa? Merah" tanya Juna memecahkan keheningan. Aku mengusap hidungku yang terkena ponsel tadi.

"Ngga papa"

'gara-gara lo kampang!'

"Udah?" Tanyaku memerhatikan Juna, sepertinya sudah tidak ada yang mau dibicarakan lagi.

Juna menatapku menyelidiki. "Lo pasti jarang telfonan atau vicall sama orang lain"

Aku mengerjapkan mataku. Kalau dipikir-pikir memang iya, aku jarang melakukan hal seperti ini karena menurutku membuang waktu. Kalaupun ada yang mau dibahas dan itu melalui telfon atau panggilan video maka setelah selesai membahas akan langsung ku matikan. Begitupun dengan Hana, Hana hanya menelfonku atau melakukan panggilan video saat ingin curhat atau bertanya tugas.

Hana sudah paham dengan kebiasaanku yang tidak suka berbasa-basi melalui telfon. Awalnya Hana juga protes seperti yang Juna katakan, bahkan lebih parah. Tapi setelah itu aku menjelaskan kepada Hana.

Apa aku sekarang juga harus menjelaskan kepada Juna? Tapi menurutku itu tidak penting, aku menjelaskan kepada Hana karena Hana adalah temanku. Sedangkan Juna? Dia hanya orang yang berlabuh sebentar dihidupku. Karena pada akhirnya Juna akan melepasku.

"Saya matiin" aku mematikan sambungan secara sepihak.

Kembali membaringkan tubuhku sambil menghela nafas panjang. Apa hidupku terlalu bisa? Apa menurut orang lain hidupku membosankan?

Sebenarnya aku tidak terlalu perduli. Bahkan saat Hana mengajaku berteman rasanya aneh, karena sejak dulu aku selalu disamping bunda. Menurutku asalkan ada bunda disampingku aku tidak membutuhkan yang lain.

Dulu aku tidak mengalami masa sekolah dasar, saat itu aku lebih memilih home schooling karena rasa kewaspadaanku yang tinggi terhadap orang lain. Bunda sebenarnya membujuku untuk sekolah biasa, tapi aku mengancam tidak akan makan kalau tidak home schooling.

Bahkan dulu aku sampai dibawa ke psikiater. Sepertinya bunda sangan khawatir dengan masalah intraksi sosialku. Ya... Sekarang aku sudah lebih baik. Atau mungkin belum?

***

Aku duduk di salah satu meja cafe dekat kampus untuk mengerjakan tugas. Sebenarnya aku jarang mengerjakan tugas di tempat seperti ini, tapi entah kenapa aku ingin mencobanya dan aku rasa tidak terlalu buruk.

Sesekali aku meminum kopiku. Kapan tugasku akan selesai? Rasanya ingin kubuang saja ke tempat sampah.

"Ayana?"

Aku mendongak lalu membenarkan letak kacamataku. Siapa?

"Betul saya Ayana. Siapa ya?" Tanyaku bingung dan cemas.

Wajahnya memang tidak asing, tapi aku tidak ingat aku pernah bertemu di mana. Aku semakin menggenggam erat pulpen yang sedang ku pegang saat laki-laki itu duduk dihadapanku.

Apa yang dia mau? Mengajak berkenalan? Sepertinya tidak. Auranya benar-benar tidak bersahabat. Atau dia ada dendam kepadaku? Aku rasa tidak pernah membuat masalah dengan orang dihadapanku ini.

Segala spekulasi mulai muncul di otakku membuat tanganku berkeringat dingin. Apa yang harus aku lakukan? Pergi dari sini? Tapikan aku duluan yang duduk di sini. Lagi pula masih ada meja kosong.

Tiba-tiba ada yang menggenggam tangan kiriku. Aku menoleh terkejut. Aku langsung bernafas lega melihat Juna ternyata yang menggenggam erat tanganku.

Juna terkekeh melihat ekspresi legaku. "Setakut itu sama Theo sampe keringat gini?" Tanya Juna sambil menunjukan tangannya yang menggenggam tanganku.

Aku lebih memilih diam dan memandang orang dihadapanku. Ternyata dia bernama Theo. Sekarang aku ingat, aku pernah melihatnya beberapa kali.

"Lo jadi orang jangan suram mulu napa. Nih liat cewek gue sampe takut" ucap Juna meledek Theo.

"Cih, apaan dah? Orang gue biasa aja. Cewek lo aja yang terlalu waspada" balas Theo cuek.

Benar aku terlalu waspada. Ini yang tidak ku sukai saat berada di tempat umum seperti ini sendirian. Kalau di kampus itu masih tergolong aman karena aku tidak pernah keluar gedung kalau jadwalku belum berakhir.

Tanpa sadar aku balik menggenggam tangan Juna lebih erat karena terlalu banyak berfikir. Aku menghela nafas sambil menatap ke luar jendela kaca disampingku.

Happy EndingNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ