11

108 4 0
                                    

Aku mengalihkan pandanganku saat mamah datang sambil membawa pai apel. "Mamah ke kasir dulu ya"

Aku menganggukan kepala lalu mulai memakan pai yang dibuat mamah. Ini salah satu alasan kenapa aku menyukai mamah. Masakan apapun yang dibuat mamah rasanya sama persis dengan buatan bunda.

Aku mendongak saat ada yang mengetuk meja yang aku tempati. Aku membulatkan mata terkejut.

"Juna?" Ucapku pelan. Aku melirik perempuan yang berdiri di sebelah Juna.

"Sendirian?" Tanya Juna yang kubalas anggukan kepala. Juna duduk dihadapanku sedangkan perempuan itu duduk di bangku sebelah Juna.

'ngapain duduk di situ? Meja kosong banyak woy!'

Aku mengusap leherku. Rasa canggung yang hadir benar-benar membuatku tidak nyaman.

Aku melanjutkan makan sambil sesekali melirik perempuan di sebelah Juna. Siapa? Pacar Juna?

Jangan-jangan Juna datang ke sini sambil membawa perempuan ini untuk memberitahu kalau Juna sudah tidak butuh aku? Kalau benar begitu aku sangat-sangat merasa bersyukur.

Aku melihat ponselku yang bergetar di atas meja. Randy? Kenapa menelfonku.

Aku berdiri dari dudukku, sedikit menjauh dari Juna.

"Halo, kenapa?" Tanyaku bingung.

"Lo di toko mamah?" Tanya Randy balik. Aku berdehem sebagai jawaban.

"Mamah ngomong sesuatu ke lo?"

"Motor di bagasi" Aku mendengar Randy menghela nafas.

"Lo ngga kasih tau mamah kalo gue sering ikut balapankan?"

"Kalo ngga mau gue kasih tau ya berhenti. Tapi terserah lo" aku mematikan sambungan sebelum mendengar balasan Randy.

Aku berjalan kembali ke meja yang aku tempati. Aku mengerutkan kening saat tidak menemukan Juna dan perempuan itu. Aku melihat kertas diselipkan di bawah piring paiku.

Gue duluan ada urusan

Aku hanya mengangkat bahu tidak perduli. Sendirian seperti ini lebih nyaman.

***

Aku memukul kepala bagian atas pelan untuk menghilangkan pusing yang sudah menyerangku sejak pagi tadi.

Aku berjalan menuju perpustakaan untuk mencari referensi tugas. Tapi pusing yang ku alami menghambat pergerakanku.

"Kenapa?"

Aku menoleh ke arah samping kanan. "Kak Ansel? Ngapain di sini?"

"Habis dari perpus. Kenapa lo?" Tanya Ansel. "Ngga papa. Cuma pusing dikit kebanyakan tugas"

Ansel terkekeh lalu mengacak-acak rambutku. "Awas nabrak"

Aku hanya tersenyum. "Kalo gitu gue duluan kak"

Aku melanjutkan jalanku yang tertunda. Sesampainya di perpustakaan aku mulai mencari beberapa buku untuk ku jadikan referensi.

Aku merogoh saku celanaku. "Ngapain Juna telfon?"

Aku segera menuju ke arah penjaga perpustakaan untuk meminjam buku. Setelah selesai aku menelfon Juna karena panggilan tadi tidak sempat ku angkat.

"Halo" sapaku sambil berjalan menuju lift karena perpustakaan berada di laintai tiga.  "Kok tadi ngga diangkat?" Tanya Juna.

"Tadi di perpustakaan" jawabku jujur.

"Sekarang di mana?"

"Lantai satu"

Aku berjalan masih sambil memukul kepalaku seperti tadi. Aku berhenti setelah keluar dari gedung. "Ngapain kamu di situ?"

"Emang ngga boleh?" Tanya Juna balik.

"Ya boleh-boleh aja sih" jawabku sambil berjalan ke arah Juna.

Aku mematikan sambungan telfon ketika sudah berada di depan Juna. "Apa?" Tanyaku bingung karena Juna menatapku tajam.

"Lo ada hubungan sama Ansel?" Aku mengerutkan dahi. Kenapa tiba-tiba membahas Ansel?

"Senior sama junior?" Jawabku tidak yakin karena aku sebenarnya cukup dekat dengan kak Ansel. Tapi tunggu dulu, bagaimana bisa Juna tau kalau tadi aku berpapasan dengan kak Ansel?

Tiba-tiba Juna menarikku mendekat, melingkarkan tangan kirinya di pinggangku lalu tangan kanannya mulai memijat kepalaku. Aku memejamkan mata, merasakan sensasi nyaman dari tangan Juna.

"Kalo sakit tuh di rumah bukan ke kampus" ucap Juna di sela-sela memijat kepalaku.

Aku membuka mata. "Hari ini ada kuis"

Juna menghentikan gerakannya lalu menatapku tajam, aku menaikan satu alisku. "Pentingin kesehatan lo dulu. Untung lo masih sadar, coba kalo lo sampe pingsan?" Tanya Juna kesal.

Aku terkekeh pelan. "Kamu khawatir sama saya?"

Juna terdiam ditempat. Aku menarik kesimpulan dari reaksi Juna, kalau sebenarnya Juna tidak menghawatirkanku. Sepertinya aku harus membuat alarm diri agar tidak melewati batas. Aku hanya sekedar taruhan.

"Kamu belum jawab pertanyaan saya. Ngapain kamu di sini?" Tanyaku memecahkan keheningan.

Juna menyerahkan helm yang pernah kupakai. Aku mengambil helm itu lalu memakainya. Saat akan mengklip penginci helm gerakanku terhenti karena pertanyaan yang Juna lontarkan.

"Lo ngga mau nanya kenapa seminggu kemarin gue ngga hubungin lo atau nyamperin lo? Lo ngga mau nanya cewek yang kemarin gue bawa siapa?" Tanya Juna menatapku lurus.


Happy EndingDonde viven las historias. Descúbrelo ahora