754 136 8
                                    

Warn: Cerita ini sepenuhnya bersifat fiksi yang mana hanya karangan/khayalan author semata

"Jadi begitu, ya?"

Orang yang ditanyai hanya mengangguk lemah, lantas menundukkan kepalanya lemas. "Maaf, bibi, Shimizu-san pasti tidak akan seperti ini jika saya tidak mengajaknya untuk pergi," gumamnya pelan dengan penuh rasa penyesalan.

Keduanya terduduk pada kursi yang berjejer di depan salah satu ruangan, menunggu kondisi akhir (Y/n) yang tengah diperiksa oleh dokter. Sesaat setelah gadis itu pingsan di pantai, ketiga temannya memutuskan untuk pulang dan segera membawanya ke rumah sakit untuk diperiksa, sekaligus menelpon Akita menggunakan ponsel (Y/n) yang kebetulan tidak dikunci.

Ibu satu anak itu menepuk bahu Oreki, membuat laki-laki itu menoleh dan Akita mengulas senyum kecil. "Tidak, ini bukan salahmu, kau tidak perlu menyalahkan dirimu sendiri."

Mendengar hal itu membuat Oreki ikut tersenyum, lalu menundukkan kepalanya lagi seraya menunggu kondisi (Y/n) yang masih belum jelas. Mungkin wajahnya menampilkan senyuman, tapi tak dapat dipungkiri ia merasa bersalah sudah membuat (Y/n) seperti itu.

Sekalipun Oreki tidak pernah mengira bahwa (Y/n) memang mengalami trauma separah itu, bahkan belum lima menit dirinya menatap lautan, (Y/n) langsung kehilangan kesadaran.

"Kalian berangkat berdua saja?"

Pertanyaan dari Akita membuat Oreki kembali tersadar, lantas menatap Akita sekali lagi. "Tidak, kami berangkat dengan Chitanda dan kakaknya, tapi mereka pulang duluan dan meminta informasi kondisinya nanti."

Akita mengangguk paham atas penjelasan Oreki, ia sedikit senang ada seseorang selain Fukube yang mengkhawatirkan kondisi (Y/n) sebegitunya. Karena sebelumnya, punya teman atau tidak saja (Y/n) belum pernah menceritakannya.

"Bibi, selama ini ada yang mengganjal dalam pikiranku," gumam Oreki yang sudah pasti didengar oleh Akita.

Kepala Akita memiring bingung, perkataan Oreki yang menggantung membuat otaknya otomatis mengira-ngira apa lanjutan ucapan laki-laki muda itu. "Apa itu?" tanyanya dengan alis kanan yang terangkat.

"Bibi, bisakah kau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada Shimizu-san?"

Pertanyaan Oreki membuat Akita terdiam sejenak, tapi kemudian ia mengulas senyum tipis seraya terkekeh pelan. Akita menyandarkan punggungnya pada kursi, menatap langit-langit rumah sakit.

Oreki tak bisa melakukan apapun selain menunggu Akita mengeluarkan suaranya, ia tetap diam seraya mencermati Akita yang sedari tadi hanya membuka tutup mulutnya seakan ragu untuk bercerita.

"Apa kau tau? (Y/n)-chan, air bukan hanya merebut ayahnya ...."

"... Tapi juga merebut ingatannya."

.
.

Kedua kakinya melangkah dengan tergesa-gesa, berkali-kali bibir mengucap maaf karena menubruk tubuh seseorang. Keringatnya mengucur deras dengan perasaan yang amat khawatir.

Getaran ponsel di saku celananya membuat ia berhenti, dengan diawali umpatan ia segera meraih ponsel miliknya. Ditatapi layar benda pipih itu yang menampilkan satu nama. "Ck, ayah," decaknya kesal.

Jempolnya langsung memencet ikon berwarna hijau, lantas menempelkannya pada telinga dan langsung mendengar teriakan yang membuat telinganya sakit. Tak memiliki waktu untuk menunggu emosi ayahnya mereda, ia langsung menyela dengan tidak sopannya.

"Maaf ayah, aku harus pergi, aku tidak bisa diam saja!"

Seraya melanjutkan langkahnya, ia langsung menghela nafas lega melihat keretanya belum berangkat. Untung saja ia tidak terlambat, pasti merepotkan jika ia ketinggalan kereta.

Waiting for You || Hyouka (OrekixReaders) [✔]Where stories live. Discover now