714 117 21
                                    

BLARRRR!

Suara petir yang menyambar bumi terdengar keras di telinga, menyentak batin, menjadi penyebab keterkejutan. Matanya melirik ke samping kanan, menatapi bulir hujan yang mulai membasahi kaca jendela.

Ketukan pada kaca yang dihasilkan ranting pohon menemani kesunyian, ditambah angin kencang yang membawa serta hawa dingin membuatnya harus memeluk diri rapat-rapat.

"(Y/n)-chan, dingin?"

Suara lembut yang mengalun di telinga membuatnya menoleh, lantas menyunggingkan senyum tipis. "Iya, sedikit." ia melanjutkan dengan mengusap-usap lengannya yang terbalut pakaian rumah sakit.

Padahal (Y/n) bukan pasien yang menginap lama atau semacamnya, tapi karena sebelumnya ia menggunakan baju lengan pendek dan celana di atas lutut, temannya memaksa dirinya untuk berganti pakaian. Yah, tak apa, setidaknya ini mengurangi sedikit rasa dinginnya.

"Kenapa Mama belum kembali, ya? Ini udah lama loh."

Seraya menatap kaca jendela ia bergumam, langit menampilkan sisi gelapnya yang sesekali menjadi terang akibat kilatan petir. Fukube yang tengah memainkan ponselnya mengalihkan perhatian, menatap sahabatnya dengan seulas senyum.

Laki-laki itu bangkit dari tempat duduk yang di sediakan dalam ruangan, menghampiri ranjang (Y/n) dan duduk di kursi didekatnya. "Mungkin lagi meneduh, bibi Akita gak bawa payung kan, ya?"

Mendengar jawaban itu membuat (Y/n) termenung, sesaat kemudian mengangguk paham. Kepalanya menunduk dalam, lantas mengeluarkan nafas kasar. "Semoga mama bawa makanan hangat, deh. Dingin banget ternyata." tatapannya beralih pada Fukube lagi, terkekeh pelan.

Fukube menanggapi dengan tawa kecil, menggunakan tangan untuk menutupi mulutnya. "Kau tidur saja dulu, nanti aku bangunkan jika bibi Akita sudah kembali." ia memberi saran, menggerakkan dagunya untuk menyuruh (Y/n) berbaring.

Alih-alih menurut, gadis itu malah menggelengkan kepala. "Tidak, aku—"

Cklek

Perhatian keduanya langsung teralihkan pada pintu ruangan yang tiba-tiba dibuka. Harapan (Y/n) sirna saat seseorang menjulurkan kepalanya ke dalam, dengan pakaian serba putih khas seragam perawat. "Maaf, apa di sini ada keluarga pasien?"

Perawat itu hanya menatap keduanya bergantian, ia masih tetap berdiri di pinggiran pintu, pintu yang berada di depan ranjang (Y/n) sedikit ke samping. Sejenak (Y/n) dan Fukube bertatapan, setelah yakin mereka punya pikiran yang sama, keduanya mengangguk serempak.

Tatapan mereka kembali bergulir pada sang perawat yang masih menunggu. "Iya, saya saudaranya," jawab Fukube yakin, menatap perawat itu dengan pandangan bertanya, mengira-ngira apa lanjutan perkataannya.

"Bisa Anda keluar sebentar? Ada yang ingin kami bicarakan dengan Anda."

Fukube kembali menatap (Y/n), seakan meminta persetujuan. Keduanya sama-sama bingung, tapi tak mempunyai pilihan, sehingga (Y/n) pun mengangguk mengizinkan. Fukube segera mengikuti langkah perawat yang mulai keluar dari ruangan, membiarkan (Y/n) berteman dengan kesunyian.

Dalam diamnya, gadis itu bertanya-tanya. Kenapa Fukube tiba-tiba dipanggil keluar? Dia juga tak bisa menebak raut wajah yang perawat itu tunjukkan. Sesaat kemudian, ia mencoba mengenyahkan pikiran aneh yang berdatangan, mungkin saja dokter ingin bicara dengan Fukube tentang kondisinya.

Kini ia melamun, menjadikan hening sebagai teman sementara. Tatapannya terarah pada langit-langit ruangan, lantas menghembuskan nafas panjang untuk menenangkan pikiran.

Mengingat soal apa yang terjadi hari ini, dokter sudah menyimpulkan ingatannya kembali. Namun, apakah benar begitu? Sebenarnya, apakah untuk ini tujuan (Y/n) melawan rasa takutnya? Lantas, apa yang berubah?

Waiting for You || Hyouka (OrekixReaders) [✔]Where stories live. Discover now