495 89 4
                                    

Satu buket bunga lepas dari genggaman, tersimpan apik di atas pemakaman dengan marga Shimizu yang terukir jelas. Sunyi setia menemani, kala rentetan kalimat belum juga meluncur dari bibir.

Wajahnya mengernyit dalam, meringis menahan perih dalam dada. Sesak, segala persiapan yang disusun rapi dalam kepala terkikis perlahan hingga lenyap. Pilu yang menyelimuti kian bergemuruh, tidak berniat berlalu menjauh.

Usapan pada bahu menyadarkannya. Seseorang yang selalu mendukungnya, mencoba memberi kekuatan dengan mengelus pundaknya pelan. Ia meraih tangan itu, lalu menggenggamnya erat.

Dua temen di belakang yang ikut menemani hanya bisa memandang sendu, merasa tak memiliki hak untuk bertindak. Kehilangan adalah sesuatu yang tidak bisa disepelekan, wajar jika gadis itu begitu merasa begitu hancur.

"Ibu," panggilnya, genggaman pada tangan Fukube yang masih setia pada bahunya semakin erat, menahan rasa sesak yang ada. "Maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf." nada bicaranya seolah tertahan, menyembunyikan getaran yang kini menular pada kedua bahu rapuhnya.

Fukube mengangkat tangannya yang lain, memeluk punggung (Y/n) penuh kelembutan. "Ini bukan salahmu, (Y/n)-chan, Bibi pasti mengerti," bisiknya menenangkan, mencoba menguatkan meskipun dirinya sendiri merasakan hal yang sama.

Gadis itu menutup mulutnya rapat menggunakan telapak tangan, air matanya mulai menetes tanpa diperintah, mengalir melewati wajahnya dan jatuh ke tanah. Ia terisak, membungkuk pasrah.

Bagaimana caranya ia percaya bahwa apa yang ada di depannya ini adalah makam ibunya?

Masih banyak yang tidak ia mengerti. Rasanya baru kemarin ia sarapan bersama ibunya, bercanda bersama ibunya, memasak bersama ibunya, lalu apa yang matanya lihat kali ini? Jasad ibunya telah terkubur dalam, sementara jiwanya melayang tinggi menembus awan.

"Engh."

Ia meringis. Cahaya yang masuk secara tiba-tiba pada netra membuatnya mengerjap cepat, seketika memegang kepala yang terasa pusing luar biasa. Pandangannya masih berkunang-kunang, perlu waktu untuk menjernihkannya.

Dengan mengerahkan seluruh kekuatannya, gadis itu mendudukkan tubuhnya yang masih lemas. Rasanya begitu letih, lelah menyelimuti dengan nafas yang sedikit berat. Mengalihkan pandang ke sekitar, ia melebarkan mata saat mendapati seseorang yang dikenalinya.

"M-mama?" panggil gadis kecil itu, begitu pelan, tetapi mampu mengusik tidur sang Ibu yang berada di pinggiran ranjangnya.

Wanita dewasa itu menegakkan tubuhnya, lalu mengucek mata yang terasa gatal. Kedua matanya terbuka, hingga kemudian kian melebar ketika melihat objek di hadapannya. "Sayang?" ujarnya pelan, masih belum percaya.

"Mama, kita di— akhh!!"

Akita tersentak hebat. Tubuhnya yang semula mendudukkan diri di kursi langsung bangkit, mendekat pada anaknya yang tengah memegang kepala kuat. "Mama, kepala aku, sakit ...," keluhnya, menutup mata erat.

Netra Akita berkeliaran, mencari cara untuk mengatasi rasa paniknya. Hingga pada akhirnya, Akita menemukan segelas air pada nakas di samping dan segera meraihnya.

Gelas berukuran sedang dengan air yang terisi penuh di sodorkan, Akita berkata dengan raut wajah khawatir, "Minum dulu, kau pasti masih syok." ia menganggukkan kepala, mencoba meyakinkan putri kecilnya.

(Y/n) mengangkat kepalanya perlahan, lalu menatap gelas itu. Namun, sedetik kemudian irisnya menyusut, sementara matanya melebar cepat. Air dalam gelas yang Akita sodorkan bergoyang, menimbulkan denyutan pada kepala yang memancing sesuatu untuk bereaksi.

Waiting for You || Hyouka (OrekixReaders) [✔]Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα