680 116 30
                                    

"Mama?"

Batin Akita tersentak hebat, seketika jantungnya terasa berdetak lebih cepat, perasaan yang asing muncul dalam dirinya. Sudah lama sekali sejak saat itu. Panggilan itu, kenapa ...?

"Ini beneran mama?"

Pertanyaan itu lolos dari mulutnya yang mulai bergetar. Netranya menatap sendu, menyipit tipis hingga bulir air mata menutupi pandangan. "Ma ..."

Nafas Akita tertahan, tenggorokannya tercekat, tak ada satu kata pun yang bisa keluar dari mulutnya. Seakan aura kesedihan menular dari anaknya, mata Akita sudah bergelombang, siap menumpahkan cairan asin yang menjadi pelampiasan.

"(Y/n)!!"

Akita langsung memeluk anaknya erat, seketika dibalas oleh (Y/n) tanpa pikir panjang. Keduanya menumpahkan air mata, saling membasahi pakaian satu sama lain. (Y/n) tak bisa lagi menahan, dia sangat senang.

"Maa, ini mama, kan? Ini mama aku, kan? Aku inget ma! Aku ingett!!" suara (Y/n) yang berteriak terdengar bergetar, menyentuh hati siapapun yang mendengarnya.

Mungkin Akita masih tidak mengerti bagaimana menyikapinya, tapi siapa peduli? Identitasnya yang selama ini selalu dipertanyakan oleh (Y/n) telah ditemukan. Akita begitu senang. "Iya sayang, ini mama, ini mama ..."

Namun, diantara suasana haru ini, ada satu orang yang tidak mengerti situasinya sama sekali. Pandangannya menyiratkan kebingungan yang terlalu ketara, tiba-tiba saja kejadian seperti ini terjadi di hadapannya. Ada apa?

Ia terkesiap rendah ketika mendapatkan tepukan di pundaknya, lantas menoleh dan menatap si pelaku. Fukube saat itu tersenyum kecil, mengangguk dan menggerakkan kepalanya, mengisyaratkan Oreki untuk mengikuti dia.

Oreki segera menurut, Fukube membawanya keluar ruangan, membiarkan waktu berdua untuk ibu dan anak itu. Sesampainya di luar ruangan, keduanya duduk di tempat yang disediakan. Fukube langsung bersandar santai, sementara Oreki tak mengerti maksud Fukube membawanya kemari.

"Satoshi, sebenarnya apa yang terjadi di dalam?" Oreki melirik sejenak ke arah pintu ruangan itu, lalu kembali bergulir pada Fukube yang baru tersadar.

"Oh, itu." Fukube yang semula bersandar menegakkan tubuhnya, kedua tangannya bertumpu pada tempatnya mendudukkan diri. "Oreki, apa (Y/n)-chan pernah bercerita kalau dia kehilangan ingatannya?" ia memiringkan kepala, menatap Oreki.

Oreki hanya mengernyitkan alisnya, lalu menjawab dengan ragu, "Iya ... sih, tapi Shimizu-san bilang dia lupa dengan wajah ayahnya, kan?"

Fukube mengangguk, membenarkan perkataan Oreki, tetapi kemudian ia menunduk dengan jari bertautan, setelahnya menghembuskan nafas panjang. "(Y/n)-chan juga melupakan wajah ibunya."

Jawaban itu membuat Oreki membulatkan matanya sembari memundurkan badannya sedikit, tidak bisa percaya dengan hal itu. Dalam keadaan yang masih bingung, Oreki kembali bersuara, "Wajah ibunya juga? Bukankah Shimizu-san hanya melupakan sebagian ingatannya? Lalu apa yang masih ia ingat?"

Mata Fukube melirik teman di sampingnya, menyipit curiga. Sejak kapan Oreki sepeduli itu pada orang lain? Bukankah dia tak suka mencampuri urusan orang lain? Jujur saja, Fukube merasa semakin hari temannya ini semakin aneh saja.

Tak memiliki waktu untuk itu, Fukube hanya memakluminya, mungkin Oreki hanya penasaran, tak lebih. Ia pun menghela nafas lelah. "(Y/n)-chan masih bisa mengingat beberapa kenangan dengan ayah dan ibunya, tapi wajahnya benar-benar tidak dia ingat."

"(Y/n)-chan ingat pernah bermain dengan ayahnya, (Y/n)-chan ingat pernah memasak dengan ibunya, tapi dia sama sekali tidak bisa mengingat wajah orang itu. Setiap aku tanya, katanya wajahnya buram, dia tak tau siapa yang bermain dan memasak bersamanya."

Waiting for You || Hyouka (OrekixReaders) [✔]Where stories live. Discover now