564 108 18
                                    

Tok tok tok

Suara ketukan menyapa gendang telinga untuk yang kesekian kalinya, walau begitu tak terdengar jawaban berbentuk suara. Resah. Khawatir tak kunjung pergi dalam diri, lega tak juga datang menghampiri jiwa.

"(Y/n)-chan, kau belum makan."

Jemari kembali mengetuk pintu yang sudah lama tak terbuka. Menyimpan rahasia di dalamnya, tentang apa yang terjadi tanpa sepengetahuannya. Gadis itu tak kunjung keluar, atau sekedar bersuara untuk menenangkan hatinya.

Dilirik olehnya piring yang ia bawa dengan nasi goreng di atasnya. Dia selalu memasakkan sesuatu setiap waktu makan tiba, tetapi tak sedikitpun makanan buatannya dicicipi oleh gadis itu.

"(Y/n)-chan, kau bisa sakit, setidaknya makan sedikit saja."

Laki-laki dengan lautan coklat dalam matanya itu menyandarkan kepalanya pada pintu. Ia putus asa. Ini hari kelima sejak pemakaman Akita usai, sejak hari itu pula (Y/n) belum memasukkan apapun ke dalam perutnya.

"(Y/n)-chan," panggilnya sekali lagi. "Tolong jangan begini, bibi juga akan sedih melihatmu seperti ini."

Cklek

Pintu itu terbuka untuk pertama kalinya, mata Fukube melebar pelan seiring bibir melengkung tipis. "(Y/n)-chan!" pekiknya senang.

Namun, ekspresi itu tak bertahan lama. Melihat kondisi (Y/n) membuat dada Fukube sedikit sesak. Gadis itu terlihat tak mengurus dirinya sendiri. Dengan kantung mata kelewat tebal dan hitam, bibir kering, juga tatapan yang begitu lelah.

"Untuk apa juga Mama sedih? Bukankah dia juga yang membuatku begini?" lirihnya pelan, ia tak bisa mengangkat tatapannya ke atas, di mana sahabatnya menatap dirinya yang begitu hancur.

Fukube membuka mulutnya cepat, bersiap untuk menjawab (Y/n) dan menceramahinya. Gadis itu tidak tau seberapa khawatirnya dia, Fukube tidak tau lagi harus melakukan apa supaya (Y/n) mau membukakan pintunya.

Namun, sesaat kemudian ia sadar, ini bukan waktu yang tepat. Ia segera menyerahkan piring dengan nasi goreng yang masih hangat itu, mungkin sedikit dingin karena sudah berselang waktu agak lama. "Makanlah dulu, kau bisa sakit jika tidak makan."

(Y/n) hanya menatap tidak nafsu terhadap apa yang Fukube berikan. Kenapa Fukube berusaha sekeras ini untuk dirinya? Dasar bodoh, seharusnya Fukube tak perlu merepotkan dirinya sendiri untuk merawat gadis yang sudah tak punya harapan itu.

Mata Fukube mengerjap melihat (Y/n) merebut piring di tangannya. "Terimakasih," ucap (Y/n) singkat, lalu kembali berbalik masuk ke dalam kamarnya.

Tidak, tidak apa-apa, sungguh. Lengkungan pada bibirnya semakin melebar, ia hampir putus asa saat melihat (Y/n) tidak mau makan berhari-hari. Fukube tidak bisa membayangkan jika terjadi sesuatu yang buruk terhadap (Y/n), ini suatu kemajuan, dan sangat membuatnya senang.

"Akan aku ambilkan air minumnya!"

.
.
.
.

"Makasih, kau boleh pergi sekarang."

Setelah sebuah kalimat perintah keluar dari bibir, tubuh merebahkan diri, menyembunyikan kepala diantara bantal guling. Laki-laki di sampingnya hanya menatap nanar, semakin khawatir saja pada gadis itu.

"(Y/n)-chan, kau tidak ingin keluar? Kau butuh sinar matahari, Lama-lama di dalam kamar tidak baik untuk kesehatanmu." Fukube menghembuskan nafasnya, mengulas senyum kecil berusaha membujuk (Y/n).

Gadis itu bergeming, tak sama sekali merespon ucapannya.

Fukube mengigit bagian dalam mulutnya, mencoba melampiaskan rasa lelahnya. Meskipun sudah mau makan, (Y/n) tetap tak ingin keluar dari kamar, ia pun hanya makan satu kali dalam satu hari, itu tak sama sekali membuat perasaan Fukube menjadi lega.

Waiting for You || Hyouka (OrekixReaders) [✔]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora