430 82 10
                                    

"Kau yakin tidak apa jika di rumah sendirian?"

"Fukube-kun, sudahlah! Kau sudah mengatakan itu sebanyak puluhan kali hari ini."

Gadis itu terus mendorong tubuh sahabatnya untuk pergi keluar. Sebanyak apapun kata yang ia ucapkan untuk menenangkannya, Fukube tetap keras kepala untuk tetap tinggal di rumah ini.

"Tapi (Y/n)-c—"

"Ssttt!" potongnya cepat, menyimpan telunjuk di depan bibir. Fukube sudah berhasil terdorong hingga pintu keluar, tetapi masih enggan untuk meninggalkan (Y/n) sendirian. "Sudah ku bilang, jangan khawatirkan aku, aku sudah baik-baik saja."

"Kau yakin?" tanya Fukube dengan tatapan cemas.

(Y/n) mengangguk mantap. "Yakin. Sekarang, pulang dengan tenang dan istirahatlah selama mungkin. Aku sudah banyak merepotkanmu di sini, aku tidak ingin merasa bersalah lebih banyak lagi."

Beberapa hari setelah (Y/n) pergi ke pemakaman sang Ibu untuk pertama kalinya, (Y/n) membiarkan Fukube untuk pulang, karena dia sudah baik-baik saja dan dan tidak perlu lagi diurus olehnya.

Fukube menghembuskan nafas lelah, tidak punya pilihan lain lagi. Ia pun tersenyum tipis, setidaknya (Y/n) sudah sedikit ceria seperti dulu, ia tidak harus sekhawatir itu sekarang. Tangannya terangkat, mengacak surai gadis itu pelan.

"Baiklah, aku pulang, ya. Jaga dirimu!"

"Siap, komandan." (Y/n) menghentakkan kakinya tegas, lalu memberi hormat pada lelaki yang kini tertawa atas tindakannya. (Y/n) ikut terkekeh karenanya, menatap Fukube yang mulai melangkah menjauh dari rumahnya.

Langkah Fukube terhenti sesaat, memutuskan menolehkan kepala ke belakang, di mana (Y/n) masih belum memasuki rumahnya. Ia melambaikan tangan, seraya menunjukkan senyum lebar yang memamerkan gigi putihnya.

(Y/n) membalas lambaian itu, pula dengan senyum yang sama-sama terpatri indah. Fukube sudah benar-benar menjauh, meski masih tertangkap pandang dalam skala yang lebih kecil. Ia menghembuskan nafas pelan dengan kedua tangan pada pinggang, lalu melenggang pergi memasuki rumahnya.

Gadis itu berjalan santai, melangkahkan kakinya menuju dapur. Ketika matanya dapat menangkap kulkas, sebuah senyum terulas, lalu mendekat dengan ceria.

Pintu kulkas dibuka, lantas membungkukkan badan untuk melihat-lihat isi dari lemari dingin itu. Beberapa cemilan yang tersisa sedikit membuat wajahnya cemberut, lalu menutup pintu kulkas kembali.

Kini ia mendekatkan diri pada meja dapur, berjinjit, mencoba meraih gagang pada laci yang berada di atas. Gadis itu membuka satu persatu laci di dapur, tapi tak ada yang membuatnya tertarik, membuatnya pasrah dan menghembuskan nafas lelah.

(Y/n) memutuskan meninggalkan dapur, daripada menjadi badmood ketika melihat bahan makanan yang semakin menipis. Ini sudah satu bulan lebih dirinya tak berbelanja, jadi itu sangat wajar.

Ketika melangkah tanpa tujuan, kaki (Y/n) secara tiba-tiba mengerem dirinya sendiri. (Y/n) merasa dirinya harus berhenti, ketika sesuatu yang sedikit mengganjal menghadiri pikirannya.

Menoleh ke samping, ternyata ia berada tapi di depan kamar sang ibu. Matanya berkedip sendu, sesaat menatap ke bawah di mana kakinya berpijak. Tentu saja, ini masih sedikit sulit baginya.

Bahan makanan sudah hampir habis, ia juga tidak punya uang. (Y/n) kembali mengangkat kepalanya, menatap jeli pada pintu kamar yang tertutup itu. Bukankah dirinya harus segera belanja untuk kebutuhan bulanan?

Gadis itu kembali bergerak, mendekat, dan membuka pintu kamar bekas ibunya. Saat memasukinya, terasa hawa dingin yang teramat sangat. Namun, kondisi kamar di dalam begitu rapi, tidak ada satu sudutpun yang berantakan.

Waiting for You || Hyouka (OrekixReaders) [✔]Where stories live. Discover now