23

490 43 4
                                    

"Oh my God,"

Dia berdiri di pintu kami, Victoria Grant.

"Vic!" pekikku. Kami sama - sama menutup mulut. Aku sendiri pun kaget ia bisa muncul di pintu kami. Aku bahkan tidak menyangka ia tahu dimana kami tinggal. Ia melihat Foster yang tergeletak di lantai dengan tatapan bersalah.

"Maaf aku datang secara tiba - tiba. Aku tidak tahu harus menghubungi siapa. Aku mencoba menghubungi nomornya tapi tidak tersambung, begitu juga dengan nomormu." jelasnya.

Ponsel kami sengaja tidak kami aktifkan karena menghindari telpon dari Cole. "Well, kita bicarakan itu nanti. Masuklah, kita... aku tidak yakin kita bisa mengangkatnya walaupun bersama - sama."

Ia melangkah masuk sambil menutup pintu di belakangnya, "Ya Tuhan, Foster," gumam Victoria, "Maafkan aku."

"Tunggu sebentar," aku bergegas ke kamar Foster dan menemukan ponselnya di atas nakas dalam keadaan mati. Segera kuaktifkan dan kutelusuri kontaknya untuk mencari nama Ashton atau Michael. Namun usahaku tersendat karena masuknya pesan - pesan terlambat yang membuat ponselnya menjadi macet. Sebagian dari Cole, sebagian dari Mum-memberitahukan bahwa mereka telah sampai di Copenhagen dengan selamat-dan sebagian nomor tak dikenal yang kutebak adalah nomor Victoria.

"Hi, Foster," suara dari seberang menjawab setelah dering ketiga.

"Ashton, ini Sam."

"Oh hi, Sam. Ada yang bisa kubantu?" jawabnya riang.

"Ya, aku sangat butuh bantuanmu dan Michael," jawabku, "Bisakah kalian datang ke apartemen kami? Sekarang?"

"Ya, ya tentu. Ada apa sebenarnya?"

"Foster pingsan," kataku.

"Pingsan? Apa yang terjadi?"

"Akan kuceritakan nanti. Sampai jumpa di tempatku?"

"Ok, tentu. Sampai jumpa di tempatmu," ia mengakhiri panggilan.

Lima belas menit kemudian, dua pemuda berantakan itu muncul di pintu kami. Mereka hampir melompat dan berteriak seperti perempuan ketika membuka pintu dan mendapati tubuh Foster berbaring di lantai. "Ya Tuhan," seru Michael.

Mereka berdua membopong tubuh Foster ke sofa panjang di depan televisi. Asthon mengganjal kepalanya dengan bantal dan meluruskan kakinya. Aku tidak mengerti bisa - bisanya ia pingsan hanya karena melihat Victoria.

"Apakah ia sakit?" tanya Victoria sambil meletakkan punggung tangannya di atas dahi Foster.

Aku memutar bola mata, "Kurasa ia hanya kaget."

"Mungkin pikirannya sedang kacau, kau tahu... karena kejadian - kejadian akhir - akhir ini," kata Ashton.

"Hei," Victoria berkata, "aku tahu aksen itu."

Ashton dan Michael saling melempar pandangan.

"Kalian orang Australia?"

Mereka berdua mengangguk, "Kau juga?" tanya Michael.

"Tidak, aku hanya tinggal di sana beberapa tahun. Mungkin tiga," jelas Victoria. Mereka dua terlihat mengangguk lagi sambil ber-hhmm. "Oh, keren. Di mana kau tinggal?" tanya Michael lagi.

"Melbourne," jawabnya.

"Sydney," kata Michael sambil menunjuk dirinya dan Ashton, "Tapi ia Sydney pinggiran," ia segera mendapat serangan di rusuknya dari siku Ashton.

"Oh, aku lupa," seruku. "Akan kubuatkan minum untuk kalian," kataku sambil berjalan menuju dapur. Di lemari masih terdapat setengah toples teh racikan Mum dan aku mulai meletakannya ke sebuah cawan sambil menyeduhnya dengan air panas kemudian menyaringnya ke dalam gelas - gelas. Dari sini aku dapat mendengar mereka bertiga mengobrol. Aksen Victoria memang sedikit berubah waktu pertama kali aku bertemu dengannya di Australia lebih dari dua tahun kami tidak bertatap muka.

The Sign // H. S. [deleted soon]Where stories live. Discover now