Epilog

414 33 0
                                    

New York,

12 years later.

New York City.

Aku tidak percaya aku sudah tinggal di kota ini hampir sepuluh tahun lamanya.

Hari ini Manhattan terlihat sangat indah. Awan terlihat sangat biru, Central Park terlihat sempurna dari jendela kamar hotelku, dengan perpaduan hijau dan biru.

Hari ini adalah hari spesial. Semua orang yang kulihat sangatlah sibuk berlalu lalang, Mum tak pernah berdiam di satu lokasi lebih dari satu menit. She's the boss of today's show. Foster juga tak kalah sibuk, ia selalu terlihat berbicara di telepon. Dad? Aku tidak tahu ia di mana, mungkin sedang berbicara dengan beberapa tamu. Ia pandai memikat orang dan membangun percakapan.

Aku berada di kamar ini sejak pagi, di depan cermin, sudah mengenakan gaun putih yang sangat cantik.

"You're done, Sam. Lihatlah, betapa cantiknya dirimu!" Chris Rodriguez, make-up artistku untuk hari ini. "Aku harap ia tidak pingsan di altar melihatmu secantik ini. You're too gorgeous, queen." katanya sambil menjentikkan jari.

Aku tertawa kecil. Yup, hari ini hari pernikahanku. Aku dan Chris masih mengobrol dan bercanda saat seseorang tiba-tiba membuka pintuku.

"Hi, Harry," sapaku.

"Harry freaking Styles! Kau terlihat tampan sekali, sayang," ucap Chris, "Gucci, Gucci, Gucci, everywhere, oh yang ini Yves Saint Laurent. Ten out of then. Chef's kiss!"

"Thanks, Chris!"

"Bagaimana menurutmu, hasil riasanku?" Chris menggerakan tangannya ke arahku.

"Sempurna. Aku tidak pernah meragukanmu," jawabnya.

"Of course. I'm the best in Manhattan, at least."

Kami tertawa.

"You know what, karena mahakaryaku sudah selesai dan aku sangat haus, aku akan turun ke bar sebentar. Kalian bisa mengobrol tanpaku. See you, Sam. See you Harry!" kata Chris sambil mengambil dompetnya dari tas dan berjalan ke pintu.

Saat pintu kembali tertutup, kami masih tertawa kecil.

"I think he has a crush on you," candaku.

"Oh, stop. Aku tahu," candanya. "Serious talk, are you nervous?"

"Sangat. Kuharap aku tidak muntah nanti."

Harry menggeleng, "Come on, jangan konyol."

Setelah segala drama dengan management One Direction selesai dan semuanya mulai membaik, aku memutuskan untuk mengambil kelas kursus untuk belajar media. Aku fokus belajar, dan menikmati prosesnya. Saat kursusku selesai, aku langsung mendapatkan pekerjaan di London. Aku baru satu tahun bekerja saat perusahaanku mengumumkan mereka akan membuka quarter di New York, dan mereka akan membutuhkan beberapa orang untuk pindah ke kota itu.

Tadinya aku tidak tertarik, tapi ide tentang hidup di kota terbesar di dunia sangatlah menggoda. Aku sudah merasakan tinggal jauh dari keluarga, jadi apa yang kukhawatirkan? Dengan menimbang-nimbang keputusan dan dorongan orang tuaku, aku mendaftar untuk pindah ke New York.

Dan di sinilah aku sekarang.

Aku tidak pernah sekali pun mempunyai pikiran bahwa masa depanku adalah New York.

Gila, bukan?

"Hey, Sam, kau tidak apa-apa?" aku mendongak. Ia memakai tuxedo biru tua, terlihat lebih rapi daripada biasanya.

Sekarang rambut panjang ikal ikoniknya waktu muda telah hilang, hanya ada rambut pendek yang disisir rapi ke arah belakang ala Brooklyn Beckham saat berusia 16 tahun.

"Kalau kau merasa ragu, bahkan hanya sedikit, kau bisa meninggalkan tempat ini. Aku bisa membawamu keluar dari tempat ini dan tidak akan ada yang tahu," wajahnya terlihat menunjukkan rasa khawatir.

Aku tertawa, "Hentikan."

Ia pun tertawa.

Tiba-tiba seseorang mengetuk pintuku.

"Masuk saja," kataku.

Pintu terbuka dan Foster masuk, "Pengantin pria sudah datang."

"Oh," tiba-tiba aku merasa gugup lagi, tapi juga merasa bahagia. Aku akan menikah dengan orang yang sudah empat tahun bersamaku, dan aku sangat mencintainya.

"Harry, apa kau sibuk?" tanya Foster.

"Oh, tidak. Ada yang harus kubantu?"

"Tidak banyak, tapi bisakah kau ikut aku ke bawah?"

"Tentu saja," jawab Harry.

"Baiklah, aku tunggu di bawah," kata Foster, "Mum dan Dan akan ke sini sebentar lagi. Good luck, sis," lalu ia menghilang.

Aku dan Harry terdiam sebentar.

"It's getting real," kataku.

"It's getting real, tapi bolehkah aku jujur?"

"Tentu saja."

"Saat kau pertama kali memberi tahuku tentang kencan pertamamu dengan Austin, entahlah... aku langsung tahu bahwa ialah orangnya. He's the one for you."

"Harry, kau akan membuaku menangis."

Ia tertawa, "Please jangan menangis, aku serious. Austin pria yang sangat baik, Sam. Aku senang kau bertemu dengannya. Aku merasa tenang kau memilihnya, sungguh."

"Thanks, Harry," jawabku.

"I'm so happy for you," ia menghampiriku dan memelukku erat.

Kami terdiam untuk beberapa saat. Memeluk Harry selalu terasa hangat dan menenangkan. He'll always be my best friend.

"Baiklah aku akan pergi. Sepertinya Foster sudah menunggu."

"Kau memang yang terbaik, Harry."

"Forever?"

Aku mengangkat ibu jariku sambil menjawab, "Forever."

"Apa kataku? Forever will be our always," candanya.

"Kau menjijikkan," kataku.

Lalu ia tertawa, membuatku ikut tertawa kecil, "Good luck, Sam."

Dan dengan itu ia berjalan keluar, tak terlihat lagi.

Sendirian di ruangan ini membuatku tenang. Aku sangat bahagia, tapi aku ingin mengapresiasi waktuku sebelum aku berbagi kehidupan dengan orang lain.

Mungkin kau bertanya-tanya apa yang terjadi antara aku dan Harry sebelumnya. Well, apa saja bisa terjadi dalam waktu tiga tahun, apalagi dua belas.

Dan pada akhirnya, some things don't work, mulai dari jarak, waktu, privasiku yang terganggu, dan banyak hal-hal lain yang membuat kami lelah. We are just not meant to be together. He's my best friend and forever will be.

Kami sudah bahagia dengan jalan jidup kami masing-masing.

Tak lama kemudian Mum dan Dan tiba. Victoria ada di belakang mereka. Oh, ia dan Foster sudah menikah dan memiliki Foster junior.

Mum memuji penampilanku, dan Dad terlihat menahan tangis.

"Sam, kalau kau merasa ragu tentang hari ini, ceritakan padaku. I'll get you out of here-"

"Dad, stop! Kenapa semua lelaki berbicara seperti itu?" aku tertawa. "Aku yakin, Dad. He's the one."

Dad menatapku dan tersenyum. Hari ini akan segera dimulai.

"Aku turut senang mendengarnya. Aku tidak bisa membayangkan orang lain berada di altar denganmu selain Austin."

Aku mengangguk. Aku juga.

"Kau siap?"

Aku mengambil nafas panjang, dang mengangguk kecil, "Ya, aku siap."

THE END




A/N.

He. He. He.

The Sign // H. S. [deleted soon]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang