26

494 42 3
                                    

Setelah berminggu – minggu, berbulan – bulan hampir lupa bagaimana rasanya, akhirnya aku berada dalam mobil ini lagi. Range Rover hitam, masih dengan wangi yang sama, musik yang sama, dan pengemudi yang sama.

"Jadi apa?"

Dahinya berkerut tanpa mengurangi konsentrasinya memandangi jalanan ibukota. "Apa... Apa maksudmu 'apa'?"

Aku mengeluarkan nafas panjang. "Maksudku, jadi apa maksudmu... kau akan menunjukkan London padaku? Apa kau akan mengajakku berkeliling kota?"

"Kau lihat saja nanti," ia masih terus memasang ekspresi datar di wajahnya. Nampaknya selain menjadi penyanyi, ia juga berbakat menjadi aktor.

"Fine," aku mengubah posisi dudukku sambil menyesap tiramisuku sedikit – sedikit. Gelasnya sungguh besar hingga aku sebenarnya merasa kembung. Namun karena tidak ada hal lain yang bisa kulakukan, aku hanya terus minum. Mobil Harry melintasi gedung berbentuk peluru. Aku lupa apa fungsi gedung itu, namun yang kutahu, artinya kami sudah dekat dengan sungai Thames. "Ah!" satu petunjuk melintas di kepalaku.

"Apa?"

"Aku tahu kau akan membawaku kemana."

Dahinya berkerut, lalu ia tertawa kecil, "Kau yakin?"

Aku mengangguk, dengan mata tertutup dan mulut terkatup rapat, pertanda aku sangat yakin.

"Kalau begitu katakan aku membawamu kemana."

Aku menoleh ke arahnya, "Kalau aku mengatakannya padamu, dan tebakanku benar, ini tidak akan menjadi kejutan lagi."

"Katakan saja, aku yakin kau tidak akan bisa menebaknya."

"Apa yang membuatmu sangat yakin aku tidak tahu?" tanyaku sambil memicingkan mata ke arahnya.

"Karena kau seorang idiot---Ouch!" ia mengusap – usap lengan atasnya setelah aku melayangkan pukulanku. Lalu ia tertawa. "Memang apa tebakanmu?"

"Tidak."

"Oh ayolah," ia tersenyum lebar, "Aku hanya bercanda soal idiot tadi."

"Fine," aku tidak dapat menahan memutar bola mataku, "London Eye."

Tiba – tiba keheningan menjalar di seluruh bagian mobil. Suara penyiar BBC Radio1 hanyalah satu – satunya yang kami dengar saat ini. Ekspresi Harry tak terbaca, mulutnya mengatup kuat, matanya memandang tajam ke arah mobil yang berada di depannya, kedua alisnya hampir menyatu. Tawaku sudah akan meledak kalau saja aku tidak menahannya. HA! Tebakanku pasti benar. Karena saat ia membelokkan mobilnya di salah satu persimpangan, sebuah lingkaran raksasa yang bercahaya telah terlihat berdiri indah dari sini. Tawaku akhirnya keluar. Tanganku bertepuk – tepuk merayakan kemenangan kecil ini. Bibir Harry berkerut sambil terus mengemudi ke arah London Eye.

"Apa kubilang? Mudah sekali."

Aku terus tersenyum saat mobil Harry bergerak semakin dekat ke arah London Eye. Semakin dekat, lingkaran cahaya itu semakin indah. Aku terus tersenyum – senyum sendiri sambil menyesap tiramisuku lagi. Harry masih belum mengatakan apa – apa sampai saat ini. Hingga saat London Eye sudah terlihat sangat besar dan semakin bersinar, Harry membelokkan mobilnya dan seketika pemandangan indah itu lenyap dan tergantikan oleh bangunan – bangunan apartemen dan pertokoan yang tinggi.

"Harry?"

Ia tidak menjawab, menoleh pun tidak. Dahiku berkerut melihat ke arahnya, dan ujung bibirnya perlahan – lahan terangkat. "Ada apa dengan wajah itu?"

"Aku... a..." aku berpikir mungkin ia mencari tempat untuk memarkirkan mobilnya, tapi kami berjalan semakin jauh.

Harry akhirnya tertawa. Ia tertawa hingga semua bagian tubuhnya menjadi kaku dan ia sampai – sampai harus menghentikan mobilnya di pinggir jalan hanya untuk tertawa. "Kau benar – benar berharap ke London Eye ya?"

The Sign // H. S. [deleted soon]Where stories live. Discover now