BAB 1

124 29 66
                                    

Waktu baru menunjukkan pukul 06:00 WITA, Dili sudah memakai seragam putih abu-abunya dengan rapi. Tangisan alam tidak membuyarkan semangatnya untuk pergi ke sekolah baru. Tangannya meraih tas ransel berwarna abu-abu yang senada dengan warna rok sekolahnya. Terasa berat, bukan karena membawa banyak buku, melainkan karena membawa perlengkapan untuk MOS, termasuk kostum aneh yang enggan dipakainya dari rumah.

Udara dingin mengusik kulit, membuat bulu kuduk berdiri seketika saat pintu rumahnya dibuka. Belum sempat Dili membuka payung yang berada di tangan kanannya, sebuah mobil hitam berhenti tepat di halaman rumahnya yang dipenuhi rumput. Kalau diingat-ingat, sudah tiga bulan sejak terakhir kali Dili memotong rumput yang tumbuh subur di halaman yang tidak terlalu luas itu.

“Ternyata dugaan aa benar. Si murid teladan yang satu ini pasti sangat bersemangat menyambut hari pertama di SMA.”

Seorang laki-laki bermata sipit, hidung mancung, dan alis tebal, tampak menawan dengan seragam putih abu-abunya, bak pemeran utama laki-laki di film drama romantis. Bibirnya melengkung ke atas, memamerkan sebuah senyum manis yang serasi dengan sorot mata yang bercahaya.

Pandangan Dili menyapu dengan teliti dari ujung rambut sampai ujung kaki lelaki tersebut berkali-kali. Namun, tetap tidak bisa menemukan sesuatu yang berbeda dari lelaki itu. Entah hanya perasaannya saja, lelaki yang sudah dikenalnya sejak kecil tersebut tampak sangat tampan hari ini.

“Di mana Kiya, A Lan?” Begitulah kalimat pertama yang keluar dari mulutnya. Seakan pujian yang baru saja keluar dari mulut Lana tidak berarti apa-apa. Padahal tentu saja hal itu berhasil membuat Dili berusaha menahan senyuman bangga sekuat tenaga. Belum pernah dia merasa sebahagia ini mendapat perhatian dari kakak angkatnya.

“Tiba-tiba dia sakit. Padahal aa yakin itu hanya alasan agar dia tidak mengenakan kostum aneh yang mencoreng nama baiknya.” Lana tersenyum geli, mengingat kejadian tiga tahun yang lalu saat Kiya pura-pura sakit agar tidak mengikuti MOS di SMP. Kiya sangat memperhatikan penampilan, karena itulah dia anti dengan kostum MOS yang dominan aneh.

Dili segera masuk ke mobil, tanpa menunggu dibukakan pintu oleh Lana. Dia cukup sadar diri bahwa dirinya hanyalah gadis biasa yang tidak cocok mendapatkan perhatian spesial layaknya tuan putri. Terasa canggung saat hanya berdua dengan lelaki yang sudah seperti kakaknya sendiri. Dili merasakan detak jantungnya lebih cepat dari biasanya. Dia terdiam, mencoba memahami perasaan asing yang muncul. Mungkinkah ini cinta? Tapi Lana adalah kakak angkat Dili, mereka sudah saling mengenal sejak kecil. Bagaimana mungkin perasaannya berubah menjadi cinta secara tiba-tiba?

Kau yang bagai adik perempuan
Yang sudah kukenal sejak kecil
Semenjak kapankah
Telah tumbuh dewasa
Aku terkejut

Biarlah perasaanku
Kupendam saja
Jarak kita ini sudah cukup
Sama seperti dahulu
Aku ingin menjagamu
Yang tertawa lepas ceria

Lana ikut menyanyikan sebuah lagu yang mengalun dari ponselnya. Dili mendengarkan dengan penuh penghayatan. Lirik yang dirangkai dengan indah, bukankah lirik ini tentang seseorang yang memilih untuk menyembunyikan perasaannya. Sejurus kemudian menimbulkan sebuah tanda tanya untuk gadis remaja yang belum pernah jatuh cinta, apakah cinta tidak harus memiliki? Tapi, tunggu dulu, kenapa Lana mulai menyanyi di bagian yang ada adik perempuan?

“Sejak kapan Aa suka lagu JKT48?” tanya Dili membuka pembicaraan, berusaha mengusir prasangka aneh yang mulai menghantui pikirannya. Meskipun baru pertama kali mendengar lagu itu, Dili langsung yakin bahwa penyanyinya adalah idolgroup yang cukup populer di Indonesia dengan ciri khas musiknya yang kejepang-jepangan.

“Mau tahu satu rahasia?” sahut Lana santai tanpa menoleh kepada Dili, sejak tadi matanya hanya fokus menatap jalan. Entah karena sudah lama tidak menyetir sejak tinggal di asrama, atau karena berhati-hati melewati jalanan licin.

Good Generation (TERBIT✓)Where stories live. Discover now