BAB 7

29 7 0
                                    

“SMA Cahaya Banua diresmikan pada tanggal 23 September 2010. Menjadi salah satu SMA unggulan karena memiliki program kelas favorit. Didukung fasilitas pendidikan yang modern, serta tenaga pengajar berpengalaman yang siap mencetak generasi muda yang mampu mengharumkan nama Indonesia di kancah Dunia.

Terdiri dari lima gedung bertingkat yang dibagi menjadi tiga lokasi. Gedung di sebelah kiri adalah lingkungan kelas jurusan, dan perpustakaan di ruang paling depan lantai tiga.

Gedung kedua terdiri dari Ruang Kepala Sekolah, Ruang Guru, Ruang Lab, Ruang Keterampilan, Musala, Kantin dan Ruang Makan. Berseberangan dengan gedung ketiga, yaitu Gedung Olahraga dan Ekstrakurikuler, dihubungkan oleh Aula pada bagian tengah depan, serta UKS pada bagian tengah belakang.

Gedung keempat dan kelima adalah area khusus kelas favorit yang dilengkapi dengan Ruang Lab, Ruang Keterampilan, Ruang Olahraga, Kantin, Perpustakaan, serta Ruang Belajar Terbuka di lantai tiga sebelah Kelas Dua Belas Favorit.”

Belum selesai Pak Jacky membacakan Selayang Pandang SMA Cahaya Banua, hampir setiap pasang mata beralih memandang lapangan utama karena penasaran dengan asal suara yang mengganggu telinga mereka. Pak Jacky yang menyadari hal itu langsung mengajak para murid untuk keluar Aula, menyambut kedatangan tamu spesial.

“Murid-murid yang bapak sayangi, kalian tentu penasaran dengan helikopter yang baru mendarat di tengah lapangan. Mari kita sambut salah satu pengusaha ternama yang menjadi sponsor sekolah kita ini.”

Pak Jacky menghampiri seorang pria dewasa berkulit putih pucat yang kontras dengan setelan jasnya yang berwarna hitam. Dasi merah sasirangan yang merupakan kain khas Kalimantan Selatan menambah kesan rapi sekaligus bernilai seni.

“Beliau adalah Bapak Evgeniy Alvarendra. Pemilik Istana Pendidikan yang merupakan sekolah khusus anak yatim-piatu, dan Sekolah Jalan yang khusus diperuntukkan bagi anak-anak jalanan. Kompleks Cahaya Banua yang merupakan asrama sekolah kita berdiri di atas tanah milik beliau, begitu juga sekolah ini.”

Pak Jacky mempersilakan tamunya memasuki aula untuk melanjutkan kegiatan, diiringi para murid yang masih terkesima dengan kemunculan tamu yang mengendarai helikopter. Dili yang sedari tadi hanya memandang lewat kaca Aula, bergegas mencari tempat duduk di barisan paling depan agar bisa menikmati rangkaian acara dengan nyaman.

Saat indra penglihatannya menjelajah ruangan aula, pandangannya bertemu dengan Rama yang masih duduk santai di tempatnya, seakan tidak peduli dengan kegaduhan yang terjadi di luar Aula. Rama menunjuk kursi kosong di sebelah kirinya yang sedari tadi dipakai untuk meletakkan tas.

“Apa kamu memintaku duduk di sini?” Dili menunjuk kursi yang masih menjadi hak milik tas Rama.

“Jangan salah paham. Aku hanya merasa tidak nyaman karena sedari tadi kursi ini kosong. Padahal aku tidak akan menggigit orang yang berani memindahkan tasku ke bawah.”

Melihat murid-murid lain mulai berdatangan, Dili segera menempati kursinya sambil memangku tas ransel bertuliskan nama lengkap Rama yang sangat ringan, seperti tidak ada isinya sama sekali. Hari ini mereka memang tidak membawa perlengkapan MOS seperti kemarin, bahkan sebagian besar kegiatan dilakukan di Aula.

“Kalau kamu sangat menyayangi tas itu, bawa saja pulang. Aku masih punya banyak koleksi tas di rumah,” bisik Rama melihat Dili yang enggan meletakkan tas itu di lantai.

“Benarkah aku boleh memilikinya? Tapi aku ingin namanya diganti dengan namaku.”

Dili memperhatikan dengan saksama ransel berwarna putih polos dengan sulaman nama berwarna emas di bagian tengahnya. Meskipun hanya ada satu ruang, rasanya ransel tersebut bisa menampung banyak benda karena sangat lebar. Rama hanya terdiam melihat Dili yang tampak mengagumi ransel miliknya. Ternyata Dili menanggapi tawaran Rama dengan serius.

Good Generation (TERBIT✓)Where stories live. Discover now