BAB 6

29 8 0
                                    

“Namanya Arjuna Rama Alvarendra. Kelebihannya adalah menghitung cepat, sedangkan kelemahannya adalah sombong, tidak mau menerima kekalahan, tidak peduli pada perasaan orang lain, tidak suka dikritik tapi haus pujian,” jelas Satria tanpa diminta oleh Dili.

“Sepertinya kamu mengenalnya dengan baik. Apakah kalian berteman?” Meski mendengar lebih banyak keburukan Rama dibandingkan kebaikannya, Dili justru ingin tahu lebih banyak tentangnya.

“Orang dengan perangai seperti itu mana mungkin punya teman.” Suara Satria melemah, diikuti dengan ekspresi wajahnya yang tiba-tiba murung.

Dili menangkap ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh Satria. Jika saja orang lain yang mengucapkan kalimat itu, mungkin nada bicaranya tegas disertai dengan tawa yang bermaksud merendahkannya. Namun, Satria justru terlihat kasihan padanya, sedari tadi matanya menatap ke arah Rama yang sudah semakin jauh dari mereka.

Suasana sekolah yang tenang setelah ditinggal para penghuninya, menjadi semakin senyap sejak Satria terdiam membisu. Sesekali terdengar helaan napas yang terasa nyaring memecah keheningan. Dili yang memahami perubahan emosi pada temannya, merasa enggan untuk kembali bertanya.

Samar terdengar suara kelotak sepatu yang bersentuhan dengan jalan di koridor sekolah. Semakin lama, semakin banyak. Dili segera bangkit dari bangku taman menuju lapangan utama. Diiringi oleh Satria yang masih enggan mengeluarkan sepatah kata. Tak lama kemudian indra penglihatan Dili berhasil mendapati sosok yang sejak tadi dia tunggu.

“Halo, Satria,” sapa Lana yang kini hanya berjarak satu meter darinya. Satria hanya mengangguk sambil tersenyum menjawab sapaan dari kakak senior yang hampir kalah bertanding basket dengannya. Satria sengaja mengalah demi menjaga nama baik senior yang dihormatinya. Jika saja Satria mengerahkan seluruh kemampuannya, senior sekalipun akan kewalahan berduel dengannya.

Melihat respons Satria yang kurang bersemangat, Lana menyadari betapa melelahkannya kegiatan MOS hari ini. Apalagi besok mereka harus datang ke sekolah pagi buta untuk jadwal olahraga. Lana mengurungkan niatnya untuk mengajak Dili makan malam bersama. Dia merasa akan lebih baik kalau Dili tidur lebih awal malam ini.

Satria berbisik sejenak kepada Dili sebelum dia pergi ke arah parkiran motor. Lalu melambaikan tangan ke arah Dili dan Lana sebagai salam perpisahan. Dia berjalan dengan gontai seakan tidak memiliki semangat sama sekali, padahal biasanya murid-murid akan lebih bersemangat jika tiba waktunya pulang ke rumah.

“Na, Gue nebeng, ya?” Tanpa menunggu jawaban dari Lana, tatapannya segera beralih pada Dili. “Boleh ‘kan, Na?” sambungnya meminta persetujuan dari Dili. “Eh, tunggu. Kenapa nama panggilan kalian jadi mirip gini, sih? Rasanya kaya ngomong ke satu orang, padahal dua,” tutupnya sambil menatap Dili dan Lana secara bergantian, menunggu jawaban.

Lana menaikkan kedua bahunya, seakan dia sendiri baru menyadari hal itu. Padahal nama panggilan itu lahir dari kepalanya dan dialah yang meminta Khaidir untuk memanggil Dili dengan nama panggilan Ana.

Dia membukakan pintu depan mobil untuk Dili, lalu sedikit melirik ke arah Khaidir yang sedang tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepalanya, menandakan dia telah membuat sebuah kesimpulan pribadi yang tidak mudah berubah meskipun mendapat bantahan dari orang bersangkutan. Untung saja teman baiknya adalah Lana si penyabar.

Seperti tadi pagi, Lana langsung menyalakan musik untuk memecah kesunyian. Hanya saja, kali ini dia tidak bernyanyi, dan memilih mendengarkan musik berbahasa asing. Di bangku belakang, Khaidir yang tidak ingin menjadi perusak suasana memilih untuk bermain games di gawainya. Hal itu justru membuat Dili semakin canggung karena tidak ada yang memulai pembicaraan, sedangkan dia sendiri kebingungan mencari topik untuk dibicarakan.

Good Generation (TERBIT✓)Where stories live. Discover now