BAB 10

31 8 0
                                    

Dilia Anastasya

Urbach-Wiethe adalah sebuah kelainan pada otak yang membuat penderitanya kehilangan rasa takut. Sedangkan gejala yang dialami tiap penderita cukup bervariasi, ada yang mengalami masalah kulit seperti kulit kering dan mengerut, bahkan dalam beberapa kasus ada yang sampai menderita kecemasan berlebih, hingga menjadi psikopat.

Syukurlah aku tidak mengalami gejala yang berarti, aku hanya tidak mengenal rasa takut karena aku menderita penyakit ini sejak lahir. Aku tidak ingat dengan jelas masa kecilku sebagai bayi hingga tumbuh menjadi balita yang tidak memiliki rasa takut. Kata tante Mia, ibu menjagaku dengan sangat baik, di rumah kami tidak ada benda-benda berbahaya yang bisa melukaiku, dengan sabar ibu mengajariku tentang hal yang boleh aku lakukan dan yang harus aku hindari.

Aku cukup yakin bahwa kondisi kesehatan ibu yang memburuk juga karena terlalu letih menjagaku seorang diri sambil terus bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Ibu berjuang keras untuk mencukupi kebutuhan kami sejak ayah meninggal di usiaku yang baru menginjak satu tahun. Penyakit ibu sering kambuh, beruntung ibu memiliki majikan yang mau membiayai operasinya, tapi akhirnya ibu meninggal di rumah sakit sebelum operasi.

Mungkin karena aku masih sangat kecil, memoriku tentang ayah dan ibu sangat lemah. Aku bahkan tidak bisa mengingat wajah ayahku dan kenangan saat ayah masih hidup. Tapi berkat cerita masa kecilku yang sering diperdengarkan oleh tante Mia, aku bisa mengingat masa-masa bersama ibuku, meski hanya sedikit.

Sejak ibu meninggal, aku diasuh oleh tante Mia yang merupakan sahabat ibuku sejak kecil. Tante Mia memiliki satu putri yang seusia diriku, namanya Dhakiya Misha Ananda, sahabat yang kerap kusapa dengan nama Kiya tersebut sangat populer sejak kecil karena kecantikan dan sifat cerianya yang membuat orang-orang senang berteman dengannya.

Kiya memiliki kakak laki-laki yang sangat penyayang. Dia adalah sosok pahlawan bagi kami berdua, selalu siap mengusir para pengganggu yang membuat adik-adiknya dalam masalah. Namanya Mahesa Lana Saputra, hingga saat ini, aku masih mengaguminya.

Dia sangat bersinar di mataku, saat melihatnya, rasanya seperti melihat sebuah bintang jatuh dari langit. Begitu indah sampai ingin aku sembunyikan dan kusimpan untuk diri sendiri karena takut dia akan direbut oleh orang lain. Aku rasa tidak akan ada habisnya jika membahas tentang aa Lana. Kembali ke topik.

Hari ini adalah hari kedua aku menjalani kegiatan di sekolah baruku. Setelah melewati hari pertama yang suram dengan kostum memalukan, hari kedua kegiatannya jauh lebih santai dan mengenakan seragam olahraga yang membuatku bisa bergerak dengan nyaman, dibandingkan mengenakan rok.

Kehadiran tamu undangan yang merupakan salah satu sponsor sekolah kami, sangat menyita perhatian karena beliau muncul dengan cara tak terduga. Dengan santainya beliau keluar dari helikopter yang terparkir di tengah lapangan utama, berjalan lambat sambil melambaikan tangan melewati para murid yang kagum melihat sosoknya, memberikan sambutan yang ditutup dengan gemuruh tepuk tangan.

Aku tidak bisa mengingat dengan jelas nama lengkapnya, karena nama beliau berasal dari bahasa asing yang cukup sulit dilafalkan oleh lidah orang Indonesia. Namun, dengan rendah hati beliau meminta kami untuk memanggilnya Pak Alva, dan ternyata beliau adalah ayah kandung dari laki-laki misterius yang kini hampir menjadi temanku, yaitu Rama, dan kakak kelas kami bernama Mihda, serta ayah angkat dari teman satu kelompokku yang kini sudah aku anggap sebagai sahabat, namanya Satria.

Ada hal yang perlu kalian tahu tentang anak laki-lakinya yang bernama Rama. Kemarin, tepatnya saat MOS hari pertama berakhir, dia lewat di depanku yang sedang duduk di kursi taman sambil mengeluarkan kata-kata aneh yang tidak ingin aku ingat. Nadanya super menjengkelkan seakan-akan sedang memulai perang. Namun, anehnya hari ini dengan santainya dia memintaku duduk di kursi yang berada di sampingnya.

Good Generation (TERBIT✓)Where stories live. Discover now