38. Perasaan Bersalah

18.9K 2.8K 310
                                    

VOTE-VOTE❗

❗VOTE-VOTE❗

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

===

Sudah 2 jam lamanya Afifah berada di pemakaman. 1 jam pertama digunakan menyesali apa yang telah dilakukan tanpa sengaja pada hari itu, 1 jam selanjutnya untuk mengirim doa pada keluarga yang telah meninggal dunia khususnya almarhumah Ning Uli.

Jikalau bukan karena mendapat nasihat dari Ibrahim yang dari pertama setia di sekitar sini, mungkin 2 jam tadi terlewat sia-sia baginya, almarhumah Ning Uli pun tak mendapat manfaat apapun dari apa yang dia tunjukkan.

Lagi pula tak ada alasan lain kenapa pria itu masih tetep di sini selain karena merasa bertanggungjawab telah mengundang istri Gus Amar sebelum waktunya.

"La Ilaha Illa Allah." lirihnya yang bersandar pada tiang penyangga.

Ibrahim menundukkan kepalanya saat ayat-ayat terakhir Yasin tak kunjung selesai dibaca oleh sang Ning sebab banyak sekali bacaan Beliau yang diselingi air mata.

Sampai akhirnya ketika Yasin selesai dibaca dan bacaan setelahnya pun sama atas panduan mbak abdi ndalem tadi, Afifah mengusap wajahnya dengan tissue yang Ibrahim beli beberapa puluh menit lalu di toko pondok tak jauh dari sini.

Hiks, hiks, hiks ....

"N-ning ..., maafin Fifah, hiks," ia mengusap semen yang membatasi setiap sisi kuburan adik iparnya. "Fi–Fifah ...," belum sampai menyambungnya, ia menyembunyikan wajah ke lengan kiri saat tak sanggup lagi merasakan sesak dalam dada.

"Hiks, Fifah minta maaf, hiks hiks,"

Kenapa dalam waktu bersamaan ini harus terjadi banyak hal menyakitkan pada Hamba, Duhai Rabb-ku? Hamba lemah dan Engkau mengetahuinya.

Hiks, hiks, hiks ....

Pertanyaan meremehkan itu mengalir begitu saja dibenak Afifah tanpa dia ingat jika dalam ketidaktahuannya, Allah lebih mengetahui apa yang wanita itu pikul dan rasakan.

Hiks, hiks, hiks ....

"Ning, udah ya? Yang sabaaar. Jangan nangis lagi. Ning Uli juga pasti udah tenang kok di sana sama pendahulunya yang lain," ucap mbak tadi yang datang mendekat lalu mengusap-usap punggung Afifah untuk menguatkannya walau hasil tak maksimal.

Ibrahim menoleh ke arah pintu tatkala mendengar suara sandal peziarah lain yang akan masuk. Namun ketika yang dia dapati adalah Gus Amar, spontan saja berdiri dan agak menunduk lagi. Tidak perlu menjauh ke mana-mana, jaraknya dengan Ning itu bukanlah dekat, mungkin 8 meteran ada.

Dalam raut sedih Gus Amar masuk pelan-pelan mendekati sang istri. Ia tak lagi marah, tapi menyesal karena tak bisa mendampingi dia sejak tadi. Dan sedihnya pula sebab baru pertama kalinya lagi ini berkunjung ke makam adiknya setelah ikut menguburkannya siang itu.

"Mbak!" panggil Ibrahim pada perempuan di belakang Ningnya.

Mbak tadi menoleh padanya dan langsung ia kabarkan kedatangan Gus Amar lewat bahasa isyarat yang disederhanakan. Dan untungnya mbaknya enggak lah bodoh, ia memahami cepat lalu menoleh ke belakang  kemudian pun pergi menjauh beberapa meter saat memang Ibrahim tak bohong.

Ning Kecilku √ (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang