39. Merenggang

23.8K 3.1K 512
                                    

BANYAK AMAT YANG JADI PEMBACA GAIB

BANYAK AMAT YANG JADI PEMBACA GAIB

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

===

Selepas pulang ngaji pada pukul 11.10 pagi ini, Afifah dan Nadin pergi ke dapur umum putri untuk mengambil sarapan mereka sama seperti santriwati lainnya yang juga berbondong-bondong datang, menyambar piring, kemudian menunggu antrian untuk mengambil jatah masing-masing sampai akhirnya makanan siap disantap.

"Sayur apa ya pagi ini?" gumam Afifah sambil berjinjit untuk melihat beberapa baskom besar di dekat Bu Inah yang jauh beberapa meter di depannya.

"Bacem tempe sama sayur bening, Ning," sahut Nadin yang barusan dilintasi seorang mbak yang sudah mengambil makan dulu.

Afifah menoleh ke samping, lalu sedikit memutar kepala ke belakang. Ia tersenyum sebagai ucapan terimakasih secara tidak langsung sebab telah diberitahu.

"Loh? Ning juga makannya tirakat tah!? Kupikir Ning tuh makannya daging, caviar, salmon. Eh taunya sama kayak santri biasa," julid Intan yang datang bersama the geng dengan tampang songong.

Dia sendiri sih yang terasa sangat minus akhlak, terlihat dari badan yang berkacak pinggang sambil menyeringai tak jelas setelah berhenti di dekat Afifah. Sementara Anggun dan Atika hanya diam saja.

Dua orang itu tak seberani Intan yang mentah-mentah cari perkara depan umum.

Ada mungkin puluhan orang yang secara bersamaan menoleh ke Intan sebab merasa terundang akan ucapannya. Albasyari itu termasuk pondok besar, tentu banyak juga Nawaning lainnya yang mondok di sini. Dan mereka tadi lah orang-orangnya.

Bukannya bangga atas pernyataan Intan yang menggiring mereka seakan lebih mulai dari orang lain, para Nawaning itu malah sangat heran. Sebab, dikarenakan nasabnya berbeda dari orang lain lah yang seharusnya membuat mereka lebih ditekan hidup sederhana & tak bermegah-megahan sekalipun banyak harta di dalam rumah.

"Kudu disucikan dengan cara sesucinya najis mugholadoh mulutmu tuh, Tan. Kalo ngomong asal-asalan bener, dasar!" hardik santri biasa yang setingkat lebih atas kelas Diniyahnya dari Intan.

"Iya nih si Intan. Dari dulu perasaan sewot banget sama Ning Fifah. Iri? Bilang badak!" Tambah mbak lainnya yang baru akan melahap makanannya.

Kabar tentang pernikahan Afifah dan Gus Amar memang sudah meluas ke seantero pondok pesantren. Maka jangan heran jika orang-orang mulai memanggilnya Ning.

"Udah, Mbak. Udah." ucap Afifah sambil menahan tawa ketika melihat wajah kesal Intan.

Intan yang merasa terpojokkan lalu balik badan dan berjalan ke arah pintu masuk tadi untuk menghilang sejenak bersama Atika dan Anggun guna menghindari rasa malu. Selalu berakhir buruk jika sudah berhadapan dengan Afifah.

Kasian.

Afifah pun lalu mulai mengambil jatah makannya. Sempat ditanyai Nadin kenapa malah makan di sini disaat ndalem saja menyediakan yang sedikit lebih lezat. Tak ada alasan khusus selain karena malu pada Ummi. Tak ikut bantu malah ambil-ambil seenaknya, sungkan sekali rasanya. Benar, dia juga termasuk putri Beliau, tapi hanya sekedar menantu saja kan?

Ning Kecilku √ (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang