40. Pindah Rumah

14.7K 2.6K 618
                                    

RENCANA PART INI ADALAH ENDING, TAPI NAMBAH 1 LAGI AJA LAH HWHWHWH.

===

BEBERAPA BULAN KEMUDIAN ....

Afifah terbengong tunduk melihat ke latar rumah di mana ada Gus Amar yang ngobrol bersama Ibrahim dan 2 kakang pondok lainnya yang juga masih seumuran dengan sang mantan kekasih hatinya itu sejak beberapa saat lalu selepas mereka selesai yasinan malam Jumat di masjid.

Sungguh, hatinya tidak lagi mengikat kecenderungan pada Ibrahim. Afifah juga tak tahu pasti sejak kapan perasaan ini mulai menguap mengudara. Itu baik, tapi buruknya bersamaan dengan itu sudah tak ada lagi kehangatan dari Gus Amar.

Benar, Gus Amar bukan lagi sosok yang ia kenali. Rasa rindu pun sering hinggap di hati tiap kali kesepian menyapa layaknya malam ini.

"Fifah pingin Om. Bukan Mas apalagi Gus Amar," lirihnya dengan dada sesak.

Pria itu berubah cuek dan tak lagi tersentuh padanya yang statusnya sendiri diantara kebanyakan orang paling istimewa. Bahkan sudah jarang sekali Gus Amar berlaku tegur sapa di mulai sejak di mana ia tak sengaja membuat kesalahan pada hari itu sampai memasuki rumah baru ini 2 Minggu lalu.

"Orang jahat! Jahat banget!"

Gus Amar terlalu sering mengabaikannya, termasuk akan hak-hak sepele yang kudu rutin diberikan sebagai suami ke sang istri. Keromantisan & keharmonisan contohnya.

Afifah menenggak saliva saat tatapan sendu diberikan tuk pria itu. "Mas Amar jahat, tapi Fifah kangen dipeluk dan di sayang lagi, hiks,"

Jangankan berhubungan badan, pelukan hangat yang biasanya dilakukan saat akan memejamkan mata pun sudah lama tak ia rasakan, sebab kamar mereka sudah beda tempat. Semenjaga jarak itu Gus Amar.

"Mas, baikan yuk," lirihnya.

Dia adalah contoh suami dzalim yang tak boleh ditiru. Entah apa maksud dibalik itu semua, tapi perilaku Gus Amar melukai hatinya bukan main.

"Ih kesel," geramnya tiba-tiba bersamaan dengan berubahnya tatapan tadi menjadi sangat marah. "Mas tebu, manis diawal doang bisanya!" Ia memukul pembatas balkon sebagi penyalur rasa kesal lalu balik badan untuk masuk.

Ia tidak ingin menyerah untuk mencoba memperbaiki semuanya, tapi jika tak ada kemajuan ia juga bisa depresi lama-lama.

"Semua ucapanmu benar." lirih pria di bawah sana sambil mengigit kurma.

Tanpa Afifah sadari, sejujurnya dari tadi Gus Amar pasang telinga setajam mungkin agar mendengar ucapannya walau isinya hanya keluh kesah belaka di jarak cukup jauh. Ada alasan dibalik sikap anehnya beberapa bulan terakhir, tapi biarlah dia introspeksi diri walau memakan waktu panjang.

Ini masalah hati, bahkan Tuhan pun melihat Hambanya dari dalam sana. Tak ada yang boleh mempermainkannya siapa pun orangnya itu, termasuk Afifah. Cinta boleh, tapi akal pikiran tetap nomor satu.

Enggan lagi ia bersikap seolah memuja pada dia yang tak kunjung dapat melihat keseriusannya dalam menyempurnakan agama.

"Makasih."

Gus Amar spontan melirik ke gerbang saat mendengar suara Andin. Teman istrinya itu baru datang kembali membawa plastik berisi banyak mie ayam yang kemungkinan besar dibeli atas permintaan Afifah.

"Sepertinya akan terulang lagi." gumamnya seraya mengambil gelas di depannya.

Ia tersenyum tipis setelahnya, sebab ada iman dan mental yang harus segera disiapkan untuk menahan godaan si cantik yang telah lama tak di jamah. Ingin, sungguh sangat ingin, tapi kali ini biarkan harga dirinya menang.

Ning Kecilku √ (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang