28. Pengorbanan pertama

1.7K 219 71
                                    

Aleta duduk menatap dirinya dari pantulan kaca meja rias. Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh pagi, Revin sudah berangkat ke kampus. Rumah sudah sepi lantaran Alvina yang berpamitan menangani beberapa urusan.

Untaian cerita yang Alvina dongengkan padanya kemarin terus berputar memenuhi kepalanya. Bahkan ia rasa isi kepalanya hanya bersangkutan dengan Calistopia dan Haris.

Sungguh tidak menyangka semua serumit ini, kalimat perintah yang Alvina serukan sebagai imbalan balas budi terlintas sesaat menambah rasa cemas yang Aleta rasakan.

Tidak lama ponselnya bergetar, ia hanya melirik dengan ekor mata. "Amora," gumamnya meraih benda pipih dari meja rias yang masih bergetar.

"Ada apa?," tanyanya membuka pembicaraan dengan perempuan diseberang sana yang terdengar berdehem mengurangi rasa gugup.

"Hai Kak Aleta, bisa kita ketemu? Aku punya kabar bagus banget soal identitas Kak Aleta,"

Aleta tersenyum sinis, secepat ini kah ia harus memulai sandiwara yang Alvina inginkan.
"Heum, bisa. Share tempatnya aja," balasnya mengakhiri sambungan telepon mereka.

"Ma, Aleta janji Aleta akan kembalikan hak mama," lirihnya menggenggam erat ponsel putih miliknya beranjak mengambil tas selempang kala ponselnya bergetar menampilkan share lokasi yang Amora berikan.

- Married Dadakan -

Aleta berjalan pelan memasuki kafe yang cukup ramai menjelang waktu makan siang. Bisa ia lihat lambaian tangan Amora yang begitu antusias dan ramah berbeda dari biasanya. Aleta mendekat ikut tersenyum, melirik pria paruh baya dengan setelan jas yang duduk tidak jauh dari tempat Amora.

"Hai kak Aleta," sapa Amora mempersilahkan Aleta untuk duduk. Aleta tersenyum mengangguk, duduk dengan sopan. Ini kali pertama mereka bertemu tanpa kekacauan.

"Kak Aleta sesuai sama yang aku bilang, ini om Haris, papa kak Aleta kemarin aku ketemu pas dia cari kak Aleta," jelas Amora menunjuk Haris yang tersenyum sumringah pada Aleta.

"Aleta, saya papa kamu kita pernah bertemu sebelumnya, tapi ... saya belum sempat bilang,"

Aleta mengernyit menatap aneh keduanya, "Bapak ini ngomong apa, Papa saya Papa Danu bukan anda," ungkapnya apa adanya dengan mata yang berkaca-kaca.

Haris menggeleng kuat, mimik mukanya berubah. "Tidak, Danu bukan papa kamu! Saya papa kamu Aleta, Haris Adijaya nama kamu ada Adijayanya kan itu dari saya," Haris kembali meyakinkan ditambah dengan Amora yang mengangguk kuat.

"Kak Aleta, aku yakin om Haris ini papa kak Aleta bukannya om Danu buang kakak? Apa itu yang disebut papa?," argumen Amora seolah mendukung apa yang Haris katakan.

Aleta memejamkan mata menahan rasa nyeri yang ada di ulu hatinya. Ingatan tentang Danu dan ibu tirinya lewat begitu saja. Bukankah mereka saja.

"Kalau om benar Papa saya kenapa om tinggalkan saya? Kenapa? Dimana mama saya?," tanya Aleta bertubi-tubi meminta kejelasan pada Haris yang sudah gelagapan sendiri.

"Aleta ... Aleta dengar saya, saat itu sulit Aleta keluarga kita kamu, saya, mamamu semua ingin dibunuh! Saya menyelamatkan kamu Aleta! Saya Haris Adijaya saudara ipar Danu,"

"Lalu dimana mama? Dimana mama kandung saya? Kalau saat itu sulit kenapa sekarang anda hidup berkecukupan?! Kenapa?!!!!," serunya dengan rahang yang mengeras menahan tangis.

Haris menghela nafas berat, "mama kamu ... Maaf, saya tidak bisa selamatkan mama kamu! Mereka bunuh mama kamu Aleta!, saya tidak berdaya. Selama ini beruntung masih ada harta keluarga yang bisa digunakan untuk bangkit lagi. Percaya sama papa kamu Aleta,"

"Siapa? Siapa yang bunuh mama?!,"

"Alrescha Nero Ardiaz dan Aiden William, mereka berdua ... Papa tidak habis pikir mereka ... Mereka menghabisi keluarga kita, papa kira mereka baik," Haris kembali menjelaskan, lelaki itu mengusap ujung matanya yang sedikit berair saat mengingat semuanya.

Kini air mata Aleta juga ikut turun, ia mendongak berharap aliran ini akan terhenti. Tarikan nafas panjang terdengar setelah beberapa saat suasana begitu hening.

"Papa telat, saya sudah jadi bagian dari keluarga Ardiaz,"

"Justru itu bagus nak, ayo kita balaskan dendam mamamu. Kita balas keluarga Ardiaz dan William, kembali ke Papa Aleta. Kita bersama-sama hancurkan mereka, demi mama," ajak Haris. Mukanya yang semula sedih berganti dengan ekspresi penuh amarah dan semangat yang menggebu.

"Apa itu bisa bikin mama bahagia?," tanya Aleta termenung menatap sendu dengan mata sembab dan hidung merahnya.

Haris mengangguk, "Bisa, kita akan hadiahkan darah mereka ke pusaran mama," lelaki itu menjawab penuh keyakinan agar Aleta tergerak.

"Aku akan bantu Kak Aleta, setelah liat kebusukan keluarga om Rescha aku ga bisa terus diam Kak, mari lupakan kebencian diantara kita," timpal Amora ikut meyakinkan dengan muka prihatin.

"Ayo Aleta, kembali ke Adijaya,"

Aleta mengangguk kecil, beralih menatap Haris. "Baik kalau gitu, Aleta akan kembali demi mama. Aleta akan turuti papa," putusnya kemudian membawa helaan nafas lega dari Amora dan senyum lebar Haris.

"Bagus Aleta, benar-benar anak Papa. Sekarang lakukan satu hal sebagai awal, ceraikan suamimu pergilah dari rumah mereka,"

Bagai petir yang menyambar perkataan Haris melemaskan seluruh tubuh Aleta. Pengorbanan yang tidak mudah, baru mulai dan kebahagiaannya sudah dipertaruhkan.

Dengan ragu Aleta mulai menjawab, "Heum, Aleta akan turuti papa," ucapnya terbata dengan mata terpejam sejenak.

Amora dan Haris berpandangan saling melempar senyum. Semudah ini ternyata.

Married Dadakan Where stories live. Discover now