Chapter 22 : Naughty

3.2K 383 88
                                    

Song : Ariana Grande - Touch It

***

Jiae tidak tahan mendengar permohonan. Tiap kali mendengar Jimin meminta agar ia menetap sedikit lebih lama, Jiae merasa semakin berat hati meninggalkan. Dia menunggu sampai Jimin terlelap lalu menyelimutinya. Maniknya menyorot ke arah jari-jemarinya yang senantiasa digenggam. Ketika Jimin terusik karena suara notifikasi dari ponselnya yang berada di nakas, Jiae segera meraih benda itu dan mengubah ponsel ke mode diam. Pergerakan kecil yang dia lakukan akan selalu memancing Jimin untuk menyingkap kembali kelopak matanya sehingga Jiae menggigit bibir bawah dan menghela.

"Jangan pulang. Jangan pergi. Tidak bisakah tetap di sini?" pinta pria itu dengan suara serak sekaligus mengandung rasa sakit. Kelopak matanya menyingkap susah payah. Rasa kantuk yang menyerangnya usai mengonsumsi obat membuat tubuhnya terasa lebih rileks dan mulai membutuhkan istirahat.

"Kau terus menahanku. Bagaimana aku bisa pergi?"

"Kau bisa pergi kapan pun saat aku lengah dan terlelap. Perlukah kukunci pintunya? Lalu kusembunyikan kuncinya?"

Jiae tertawa ringan sembari meremas tangan Jimin yang kini menggenggam jemarinya lebih erat. "Kau punya gagasan yang bagus."

"Ini sudah terlalu larut. Aku tidak bisa mengizinkanmu pulang."

"Kau jadi semakin protektif." Jiae berujar lembut. Ibu jarinya mengelus punggung tangan Jimin.

"Hanya tak ingin sesuatu terjadi padamu. Aku sedang tidak punya daya. Akan sangat sulit melindungimu dalam situasi seperti ini." Lagi-lagi Jiae mengudarakan tawa. Suara itu, ia yakin dibuat terdengar selemah mungkin untuk meluluhkan keras hatinya. Jiae menyipitkan mata dan berusaha membaca isi pikiran Jimin lalu berakhir mendengus panjang.

"Aku akan menghubungi supir untuk menjemputku. Semuanya akan baik-baik saja. Kau tidak dalam kondisi demam lagi. Kita akan bertemu besok."

"Aku masih sakit. Ya Tuhan, kepalaku masih pusing, dunia seakan runtuh⸺" Jiae berdecak jengkel karena pria itu mendramatisasi keadaan. "Aku sungguhan." Jimin berujar lagi sambil mengerucutkan bibir. Masih bertindak persuasif untuk membuat keinginannya tercapai dan mendapat respons tak senang dari lawannya. Sorot mata Jiae berubah tegas juga tajam guna membuat Jimin berubah pikiran. Pria itu⸺sayangnya⸺dengan keinginan yang lebih keras malah semakin bertindak berani lantas menarik tubuh Jiae untuk ikut berbaring di sisinya.

Tindakan itu tak mendapat perlawanan sama sekali dari Jiae. Kendati raut wajah wanita itu menampilkan kesan tak menyenangkan, Jimin tahu Jiae juga menikmati kebersamaan mereka sejak sehari lalu, terlebih setelah mengetahui bahwa Jimin juga menaruh rasa terhadapnya. Jiae meraih pergelangan tangan Jimin yang bertengger di lekuk pinggangnya, kemudian menyingkirkan dengan sikap lembut yang membuat pria itu bertanya-tanya sehingga keningnya berkerut.

"Sir, saya harus tetap pulang. Tak peduli Anda akan melarang saya sekeras apa pun." Jiae memberikan sedikit lagi waktunya untuk pria itu, menopang kepalanya dengan satu tangan sambil menyusurkan ujung jemari di kulit wajah Jimin lalu turun ke dagunya. Bibirnya menampilkan kurva lebar yang membuat Jimin ikut menyungging ujung bibir sambil mengerjap lemah.

"Sungguh keras kepala," ujar Jimin geram.

"Sama keras kepalanya denganmu, Sir."

Tawa Jimin mengudara di tengah kehangatan. "Baiklah. Kalau itu yang kau mau. Aku tidak bisa menahanmu lagi karena tahu itu akan membuatmu merasa tak nyaman." Jimin mendapat kecupan di pelipisnya kemudian melihat Jiae menyingkir dari atas ranjang, bahkan wanita itu sempat melambai padanya, sekali lagi menampilkan senyuman kelewat manis dan keluar dari kamarnya⸺meninggalkan terlalu banyak jejak yang membuat Jimin merasa kosong saat sosoknya menghilang.

Trapped by LoveWhere stories live. Discover now