Chapter 9 : Intimate

5.8K 773 119
                                    

Semoga saja Jimin tidak menyadari betapa bahagianya Jiae malam ini

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Semoga saja Jimin tidak menyadari betapa bahagianya Jiae malam ini. Bisa menghabiskan beberapa jam lebih lama setelah jam kerja usai, ditambah lagi mendapat banyak perhatian dari Jimin membuat Jiae jadi merasa diistimewakan. Keduanya berbincang cukup banyak walau tak menyangkut hal-hal pribadi. Tiap kali Jimin berbicara, Jiae akan menyimak sungguh-sungguh, sebab hal seperti ini menjadi momen yang langka baginya.

Meski Jimin mencoba berbicara mengenai banyak hal, Jiae jelas menyadari bahwa saat ini ia hanya seperti sebuah wadah untuk menampung setiap cerita yang Jimin tumpahkan. Jiae menyadari bahwa tempatnya bukanlah di sini. Kendati demikian, rasa syukur melimpah ruah dalam benaknya saat menyadari Jimin berbicara dengan raut wajah kelewat nyaman, cukup menjadi bukti untuk menunjukkan bahwa Jiae mampu menampung seluruh cerita Jimin.

Malam semakin larut dan jam telah berganti. Jiae masih mendengarkan saat Jimin berbicara dengan antusias, tapi wanita itu tak mampu memungkiri bahwa kini dirinya mulai merasa khawatir. Ia tak bisa menghentikan Jimin yang terus berbicara dan Jiae hanya bergeming di atas bangkunya sambil sesekali menyesap secangkir teh yang nyaris tandas. Jiae tidak ingin waktu berlalu semakin cepat, dia ingin di sini. Sebelumnya mereka juga sempat berteduh di bawah atap yang sama ketika di Jeongseon dan yang menyebabkan suasananya berbeda hanyalah prasarana serta kondisi hati keduanya saja.

Sesaat kemudian, Jimin mulai bersikap diam dan menyesap kopinya. Ketika menatap mata Jiae, ia dapat menangkap jelas atas kegelisahan yang Jiae sembunyikan. Jimin meletakkan kembali cangkir kopinya dan tersenyum kecil saat Jiae menatap ragu. "Mau kuantar pulang sekarang?"

Jiae mengulum bibir sejenak sambil melirik jam dinding di dapur itu, melihat jarum jam yang telah menunjuk ke arah angka sembilan lewat tiga puluh menit. Matanya beralih pada Jimin beberapa detik berikutnya. "Kalau kau tidak keberatan."

"Kau bisa menginap sih, tapi kamarnya hanya ada satu," kata Jimin berniat menawarkan tapi tiba-tiba malah terkekeh dengan pipi bersemu merah. Jiae yang seolah mengerti arti kekehan itu hanya bisa menyorot tajam ke arah pria di depannya.

"Jangan mulai lagi."

"Oke. Lagi pula keningku masih benjol karena tinjuanmu. Lihatlah," kata pria itu sambil menyingkap poni yang menutupi kening atasnya, memamerkan benjolan kecil di sana sehingga disambut tawa pelan oleh Jiae. "Padahal aku hanya bercanda, tapi kau masih saja menganggapnya serius. Aku memang sudah mesum sejak dulu. Tapi aku pria terhormat, kok," akunya sambil tersenyum dan kali ini malah disambut decakan oleh Jiae.

"Rasanya aneh sekali ketika mendengar ada seorang pria yang mengaku dirinya terhormat. Kedengaran seperti pembual," ujar Jiae sedikit pedas dan langsung membuat Jimin menyipitkan mata sambil mengerucutkan bibir.

"Aku tidak membual."

"Kan kubilang kedengarannya seperti pembual. Aku tidak menuduhmu," balas wanita itu sambil menjulurkan lidah untuk menuai ejekan, setelahnya terkekeh pelan. Alih-alih merasa tersinggung, Jimin justru malah tersenyum dan senantiasa menatap lekat ke arah Jiae.

Trapped by LoveWhere stories live. Discover now