Chapter 6 : Fear

5.6K 823 276
                                    

[Song : Lauv - Feelings]

***

Mungkin suatu saat nanti seperti inilah rasanya⸺jika Jiae tinggal sungguhan di bawah atap yang sama dengan Park Jimin. Bos muda tampan, bisa dibilang kaya (meski tidak kaya-kaya amat), seksi, panas. Oh, hentikan. Bagian itu sebenarnya tidak perlu dijelaskan atau Jiae akan langsung merasa pusing tujuh keliling jika harus menjabarkan segalanya secara luas; mendetail bahkan sampai ke⸺seseksi apakah jerawat di pipi Jimin? Jiae tentunya tidak mungkin harus menggila karena semua hal yang ada di dalam diri pria itu, bukan? Bisa mati muda jika begitu caranya.

Satu-satunya yang saat ini bisa membuat Jiae dapat berpikir jernih dan lurus hanya dengan cara memikirkan jalan pulang ke mansion di Seoul. Sesekali paras Jimin membayanginya, lalu secepat kilat Jiae menepis dengan lambaian tangan, memikirkan kondisi Jihwan, kemudian terbayang wajah Jimin lagi sampai-sampai mulutnya mengumpat tanpa sadar. Ia menggeleng lantas menekan kelopak mata dengan kedua telapak tangan begitu menyadari dirinya mulai mengalami frustrasi.

Sekarang Jimin sudah selayak hantu bagi Jiae. Pria itu ada di mana-mana, tersenyum dan berlagak songong tanpa tahu malu. Baru sebatas rupa yang membayangi saja sudah membuat Jiae merasa gemetar dan bingung, lantas bagaimana jika pria itu berdiri nyata di depannya, menorehkan berpuluh-puluh tatapan menggoda nan mematikan? Rasa-rasanya Jiae seperti dilanda mabuk kepayang sehingga kepayahan dalam berpikir logis.

Jiae mencebik sambil menempatkan kepalanya pada lengan sofa, merasakan keresahan yang tak berkesudahan setelahnya menyemburkan napas dengan pikiran kosong.

"Tidak jadi pulang?" Tiba-tiba suara itu mengagetkan Jiae. Seakan-akan ia baru saja dikunjungi makhluk astral tak diundang yang kontan membuat Jiae buru-buru membenarkan posisinya namun tetap bersikap tenang supaya resahnya tidak terlalu mencolok. Resah yang hadir karena sosok Jimin lebih tepatnya.

Jiae mendengus agak jengkel saat menilik ke arah pria itu. Tanpa basa-basi, Jimin mengambil tempat duduk di sofa lain, memilih posisi yang sangat pas sehingga dapat menghadap langsung ke arah Jiae. Dalam benaknya, Jiae berangan-angan hendak mengusir Jimin supaya ia bisa terbebas dari perasaan konyol yang hadir tiap kali maniknya menemukan pria itu.

Jiae melipat paksa bibirnya saat bertemu pandang dengan Jimin sekali lagi. Memejam sejenak, lantas wanita itu tersenyum. "Sebetulnya aku sedang memikirkan cara agar bisa pulang. Meninggalkan bosku di sini sendirian⸺sepertinya bukan ide bagus. Aku tidak tahu apa kau akan berkelakuan baik atau malah sebaiknya di sini. Aku khawatir kau akan membuat masalah lalu mempermalukanku."

"Hei! Apa-apaan itu? Asumsimu sungguh tidak masuk akal. Kau pikir aku ini bocah lima tahun?"

Dalam sedetik yang amat singkat, Jiae langsung menggunakan kedua jarinya untuk menciptakan suara petikan. "Nah, aku tidak bilang begitu. Tapi kau baru saja mengakui," kata Jiae seolah mengejek, kontan membuat Jimin mengernyit jengkel.

"Jiae⸺kau berhasil membakar sumbu kesabaranku."

"Lantas? Mau apa?" tantang Jiae, sekejap bangkit dari atas sofa saat tahu Jimin hendak beranjak dari tempat duduknya.

"Kurasa kau mulai bersikap kurang ajar. Tidak ingat posisimu ya?"

Kali ini Jiae menyeringai sambil menelengkan kepala. Pijar yang memancar dari sepasang matanya menorehkan rasa percaya diri untuk menantang sang lawan. "Nah, Bos, aku tahu betul posisiku. Sayangnya, kau yang tidak tahu posisimu sebagai seorang 'tukang numpang' di rumahku." Jiae berusaha untuk tetap menyembunyikan raut sinisnya. Kata-kata sarkastis sengaja diluncurkan untuk memancing agar pria itu sadar dengan statusnya. Jimin menjilat bibir bawahnya yang tebal dalam gerakan kilat, sementara maniknya memandang Jiae tajam selagi wanita itu menanti serangan.

Trapped by LoveWhere stories live. Discover now