Chapter 10 : Empty

4.5K 674 119
                                    

[Song : Heize - Can You See My Heart]

***

Jendela kamar yang tersingkap lebar pagi ini mengantarkan kesejukan dan telah cukup mampu membuat Jiae merasa lebih baik. Jiae melipat bibirnya rapat tatkala mendapati Tuan Choi tengah asyik memperhatikan burung-burung liar yang mampir ke halaman hanya demi remah-remah biskuit. Saat pria berusia lima puluh lima tahun itu tersenyum, Jiae bisa langsung merasakan kehangatan serta keramahannya.

Sesaat, Jiae mengulas senyuman ketika mengetahui Tuan Choi berlari menuju pos jaga demi mengambil toples biskuit miliknya, mengeluarkan beberapa potong lagi dan meremasnya menjadi remah-remah kemudian tersenyum ceria. Pria paruh baya itu begitu baik, juga selalu memberikan perlindungan pada ia dan Jihwan sejak keduanya masih dini. Tuan Choi tidak pernah membeda-bedakan. Saat Jihwan mendapatkan permen karamel karena hasil nilai ujiannya bagus, Jiae akan mendapatkan yang sama meski nilai ujiannya sedang menurun.

Tiap kali mengingat kebaikan Tuan Choi, rasa sakit hati yang mendera Jiae bisa luntur dengan cepatnya. Ia akan melupakan sejenak perlakuan tak adil yang didapatnya selama sang ibu masih hidup dan terus-terusan memperhatikan Jihwan seorang. Kendati hal tersebut tidak seharusnya diungkit kembali, entah mengapa Jiae masih merasa berat hati. Dia tak suka diperlakukan berbeda dan berakhir merasa terasingkan.

"Hei, bagaimana keadaanmu?" Mendadak Jiae menengok dengan perasaan terkejut saat mendengar suara Jihwan yang tiba-tiba saja masuk ke kamarnya tanpa izin. Jiae mendengus sekejap ketika manik cokelatnya menyorot ke arah sang kakak, berakhir melirik ke arah lain seolah-olah tak berminat menerima perhatian Jihwan.

Namun, alih-alih merasa tersinggung mendapati sikap yang Jiae torehkan, Jihwan justru tetap bersikap hangat. Wanita itu mengamati seisi kamar adiknya, lalu tersenyum sambil mendekatkan diri pada meja rias. "Wow, kau punya banyak barang-barang bagus. Mungkin lain kali aku bisa meminjamnya? Selera yang bagus," katanya kagum sambil melihat-lihat, sementara Jiae hanya mengamati gerak-gerik sang kakak dengan pandangan dingin.

"Jangan menyentuh apa pun. Itu milikku," ujarnya tegas. Jihwan tak lekas berhenti dan malah menyemprotkan parfum pada leher jenjangnya, kontan berhasil memancing kemarahan Jiae. Jihwan tersenyum sambil mengibaskan tangan ke arah wajah, mencoba menghirup aroma di sekitarnya lebih dalam lagi seraya memejamkan mata.

"Ini aroma yang akan disukai banyak pria," kata Jihwan kemudian melontarkan tawa pendek, sampai akhirnya merasakan cengkeraman kuat pada pergelangan tangan lalu tubuhnya tersentak secara mengejutkan. Sepersekon setelah itu, Jiae segera merampas parfum dalam genggaman tangan kiri Jihwan bersama tatapan nyalang.

"Kenapa kau tidak mati saja sih, Kak? Dasar monster pengusik," geram Jiae.

Jihwan tetap terlihat tenang meski situasinya semakin tak kondusif. Kakinya masih menapak di sana seolah tak gentar menghadapi tatapan tajam serta kemarahan sang adik. Jihwan menganjurkan bibir dan bersamaan dengan itu pula sepasang alisnya terangkat.

"Percayalah, kalau suatu saat nanti aku mati, kau akan jadi orang pertama yang paling merindukan kehadiranku."

"Omong kosong." Jiae menanggapi dengan malas sambil melangkah pincang, mendekati meja rias dan meletakkan kembali parfum miliknya.

"Kau benar-benar menginginkanku mati ya?"

"Ya. Lebih baik begitu. Menghilang saja sana," ujar Jiae ketus tanpa berniat menatap sedikitpun. Jihwan tersenyum getir dan melipat kedua lengannya di depan dada, mengamati kecanggungan Jiae yang tiba-tiba saja tak sengaja menyenggol botol toner wajah sehingga benda tersebut hampir jatuh namun lekas ditangkap sigap oleh Jihwan.

Trapped by LoveWhere stories live. Discover now