Chapter 28

331 62 4
                                    

Rumah Utama Kamiya terdengar lebih baik sekarang. Jaring-jaring laba-laba disudut ruangan sudah hilang. Begitu juga debu yang tadinya berada di permukaan semua perabotan.

"Terima kasih sudah mencari orang untuk membersihkannya, Chiasa-san," ucap Reina. Dia terkikik pelan. "Setidaknya, tempat ini tidak lagi seratus persen mirip rumah hantu."

"Sama-sama, Reina-sama." Senyum muncul di wajah Chiasa.

"Oh, buku-buku tua yang kau cari masih di ruang yang sama," tambah orang tua itu. Sudut matanya berkerut ketika dia tersenyum.

"Tadinya kami juga akan membereskan ruang itu. Tapi Ismawan-san bilang kau akan lebih senang melakukannya sendiri."

"Yeah, Kakek Buyut sangat mengenalku," gumam Reina. "Ngomong-ngomong, dimana dia?"

"Sedang pergi. Dia akan menginterogasi Gayatri."

Reina berjengit sedikit mendengar nama itu. Yang lebih tua memberi pandangan simpati.

"Atau mungkin dia sedang membuat masalah untuk para Petinggi." Chiasa terkekeh. "Sebaiknya aku pergi menemaninya."

"Yeah, kita tidak ingin Kakek Buyut membunuh siapapun."

"Aku setuju, Reina-sama."

Sang gadis menyeringai. Beberapa bulan yang mereka lewati sepertinya cukup membuat Chiasa paham dengan sifat Ismawan. Orang itu sudah seperti bayangan kedua sang Kakek Buyut. Tangan kanan yang setia.

Keluarga Aoki memang luar biasa.

"Kalau begitu, Yuko, Junpei—" Chiasa berpaling pada keduanya. "Kalian temani Reina-sama. Jika kalian perlu apapun, kalian bisa menelponku."

Dua anak itu mengatakan 'ha'i' bersamaan. Sang Kakek tersenyum. Kemudian mengacak-acak rambut keduanya. Setelah mengucapkan salam pamit lagi, mereka berpisah arah. Chiasa keluar dari Mansion, dan trio remaja itu ke ruang arsip Keluarga Kamiya.

***

"Jadi, namamu sekarang Aoki Junpei?"

Pertanyaan itu dilontarkan Reina sembari membolak-balik halaman buku yang sudah menguning. Ada bekas air di sana yang membuat sang gadis tidak bisa membaca beberapa kalimat.

Keduanya sibuk dikerubungi buku, catatan, gulungan, dan perkamen. Udara keruh dengan partikel kecil abu-abu berterbangan.

Junpei—orang yang ditanya—membalas dengan tawa kecil. Dia berhenti mengelap debu dan melirik ke kawan berambut hitamnya itu.

"Tidak... juga," gumamnya. Tangan menggaruk kepala.

"Mereka bilang aku boleh menyimpan namaku dan—"

Dia berhenti. Menggigit bibir dengan ragu. Reina menoleh ke arah Junpei setelah beberapa detik diam.

"Yah—nama itu, 'Yoshino'—"

Suaranya terbata. Tidak lebih dari bisikan. Anak laki-laki itu menarik napas dan membuangnya.

"Itu—nama ibuku."

Ah.

Reina paham. Dia menaruh buku usang kembali ke tumpukan. Lalu mendekati sang teman dan meremas pundaknya. Memberikan senyum lembut yang dibalas oleh anak itu.

"Yeah—aku—aku hanya ingin menyimpan sesuatu tentangnya," bisik Junpei.

"Aku yakin dia senang mendengar itu."

"Ya, aku harap."

Senyum yang mereka pasang agak pahit. Junpei karena sedih. Reina karena marah. Dibalik pakaian, dia bisa merasakan tato menggeliat. Merajam sampai ke bawah kulit

Local Shaman (A JJK Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang