6. ODETTA

7.9K 1.8K 119
                                    

Odetta merasa seperti baru saja bermimpi dicium oleh seorang pangeran berkuda putih. Datangnya dengan cahaya yang berkilat dengan cepat dan menyilaukan. Banyak hal yang ingin Odet tanyakan pada si pangeran, tetapi sosok itu sudah lebih dulu menghilang setelah memberikan ciuman padanya. Tidak masalah sebenarnya, yang masalah adalah kenapa Odet seperti benar-benar merasakan bibirnya habis dicium? Rasanya, ciuman itu terlalu nyata.

"Kamu kenapa bengong terus begitu, Mbul?"

Di meja makan mereka sangat kompak untuk menghabiskan menu apa saja yang dibuatkan oleh Odessa. Orang yang paling aktif di sana jelas adalah Seda yang suka membangun pembicaraan.

"Nggak bengong, Yah."

"Kak Embul bohong, Yah. Kelihatan kalo lagi bengong, orang dari tadi ngunyah nggak selesai-selesai."

Odet dengan cepat menyikut lengan Dastari. Tidak ada hari tanpa perdebatan atau pertengkaran antara kakak dan adik itu. Meski berjarak 15 tahun, tidak menghalangi keduanya untuk merasakan fase bertengkar seperti saudara kebanyakan.

"Diem mulutmu!"

"Andai ada hujan uang dari bersikap diam, aku pasti nurut." Dastari memang terhitung pandai bicara dan mahir menggunakan kata-kata selayaknya orang dewasa, hal itu membuat Odet seringkali kesal bukan main.

"Tari," Odessa langsung memberikan peringatan pada putri kecilnya itu. Baru SMP saja sudah begini, bagaimana besarnya nanti? Makin seperti Seda yang menyebalkan.

"Ibu juga mau aku diem kayak kakak?"

"Astaga, Tari. Kamu masih nanya ke ibu? Jelas ibu panggil nama kamu supaya kamu diem. Jangan bantah ucapan kakak kamu."

"Kakak bukan ayah dan ibu aku. Di sekolah nggak diajarin buat berbakti sama kakak, yang ada berbakti sama orangtua."

Mampus. Odet kesal sekali mendengar ucapan adiknya yang kentara tak mau menurut padanya padahal selama ini Odet tidak banyak menjahili anak itu.

Tiba-tiba saja Seda tertawa dan mengusap kepala Dastari dengan bangga. "Savage anak ayah!"

"Ayah!" seruan itu dilakukan oleh Odessa dan Odet. Sedangkan Seda dan Dastari malah membuat gerakan tangan meninju pelan selayaknya teman satu geng.

"Aku nggak bakalan jawab pertanyaan Ayah, pokoknya aku mau fokus kerja hari ini. Ayah jangan teleponin aku, ya. Aku bisa ditolak kerja kalo Ayah bikin masalah waktu aku kerja. Jangan telepon kalo aku belum hubungi duluan."

Seda mengangkat kedua bahunya dengan santai. "Harusnya kamu bilang begitu ke pangeran Daniel kamu, Mbul. Bukan ke ayah."

"Kok, jadi bahas Bima?"

"Ya ... kan, dia nggak kalah heboh kalo soal kamu."

Odessa langsung mencoba mencari jawaban dari kehebohan semalam. "Dia gendong kamu, Odet? Kayaknya semalem kamu kata ayahmu tidur dan susah banget dibangunin di sofa. Berarti sebelumnya kamu digendong, kan?"

Odet menatap ayahnya yang melanjutkan makanan di hadapan pria itu. "Yah? Emang Bima gendong aku?"

"Siapa lagi? Ayah bisa patah tulang kalo gendong kamu. Main lama sama ibu kamu aja—"

Odessa langsung menghentikan suaminya itu dengan mencubit bibir Seda. "Jangan ngomong sembarangan di depan anak-anak!"

Odet hanya menghela napas. Sudah biasa dengan pembahasan ayahnya yang suka melantur. Apa pun kebenarannya, Odet tidak akan mundur untuk membuat Bima tidak bahagia meski semalam dia digendong oleh sahabatnya itu.

*

"Kamu telat dua menit."

Odet sangat terkejut dengan kalimat sinis itu. Ini masih jam 7.47 pagi. Biasanya Odet saja mengajar di kampus paling pagi jam 7.30 yang pada akhirnya akan tetap dimulai jam delapan. Lalu, kenapa stasiun televisi malah lebih ketat dari kampus?

"Maaf, Pak. Ini masih pukul 7.47, apa jam masuk kerja di sini dimulai jam 7.45?"

Tidak mungkin, Odet bisa melihat belum ada karyawan yang datang. Odet tadi bahkan hanya berpapasan dengan OB dan OG saat memasuki lift untuk naik ke ruangan Anggada Prabu ini.

"Saya bekerja tidak berdasarkan jam kerja kantor, tapi bekerja berdasarkan jam kerja saya. Paham?"

Odet terdiam, tidak berniat membalas dengan ucapan maupun anggukan. Sebab Odet merasa perlu memastikan dimana dirinya akan ditempatkan sebagai posisi pekerjaannya di sana.

"Maaf, Pak. Saya mau memastikan lebih dulu, saya ditempatkan di divisi apa, ya? Saya rasa saya nantinya akan menyesuaikan diri di divisi yang saya ikuti."

Anggada Prabu menatapnya setelah melihat jam di pergelangan tangannya. Pria itu mendekat, hampir memutus jarak diantara mereka. Namun, Odet tidak mundur karena dia sudah biasa berhadapan dengan pemilik stasiun televisi yang hobinya bicara menohok juga, yaitu Seda Dactari. Bisa dibilang, wajah ayahnya lebih mengintimidasi ketimbang Anggada Prabu yang masuk dalam daftar pimpinan muda dan tampan di kepala Odet. Ini, sih, satu loker sama Bima kalo di pikiranku.

"Kamu nggak bekerja di divisi manapun, karena kamu kerja di bawah pimpinan saya langsung. Menjadi asisten sekaligus sekretaris Anggada Prabu. Paham?"

Ck, nggak ada kata lain selain 'paham' apa?

"Jadi begitu. Baik, Pak. Kalau begitu saya sematkan baik-baik informasi ini selama bekerja di bawah pimpinan bapak secara langsung. Saya akan datang lebih awal dan mengerjakan seluruh tugas yang bapak katakan."

Odet bisa melihat dengkusan Anggada dan seringai dari bibir pria itu. Sepertinya Odet sedang diremehkan karena dia adalah putri dari Seda Dactari.

"Dan harus kamu ingat, kamu belum diterima. Ini adalah masa percobaan yang menentukan kamu bisa bekerja atau tidak." Anggada langsung berbalik dan berjalan menuju meja kerjanya yang rapi.

"Karena selama beberapa bulan belakangan saya nggak punya asisten, kamu harus kejar setoran. Tugas kamu sudah tersedia di atas meja." Anggada menunjuk meja yang ada di seberang pria itu dan dibatasi oleh dinding kaca. Odet bisa melihat banyaknya berkas di sana.

"Baik, Pak."

Odet berjalan dengan percaya diri, dia yakin bisa menyelesaikan... shit! Odet ditipu. Bukan hanya ada di atas meja, banyak dokumen ditumpuk di bawah meja hingga kursi saja tidak bisa masuk dan berada dekat di meja. Anggada sengaja menyembunyikannya!

Ini akan menjadi tantangan super rumit yang harus Odet atasi dengan baik.  

[Siap buat dilema, kan?😏]

ODETTA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang