Ketakutan Terbesar

480 94 29
                                    

Satu minggu berlalu sejak kejadian itu. Tea masih enggan banyak bicara dengan Papi nya. Dia bahkan selalu menghindar ketika sang Papi datang menghampirinya. Seperti yang baru saja terjadi. Malam hari Tea biasa disediakan cemilan saat belajar. Namun, karena dari kemaren Bi Martem sedang izin pulang, jadilah Tea menyiapkan nya seorang diri. Dia bergegas ke dapur untuk membuat salad buah.

Di saat yang bersamaan juga, Rion ingin membuat kopi karena dia merasa mengantuk, sementara dia harus membaca laporan yang menumpuk di meja kerja nya.

Mereka bertemu di dapur, dan seketika suasana langsung berubah menjadi dingin.

Rion yang merasa memiliki kesempatan untuk berbicara dengan sang anak, langsung berdeham seraya memulai topik obrolan untuk mencairkan suasana.

"Anak Papi mau buat, hm?" Tanya pria itu hati-hati, bahkan nadanya pun selembut kain sutra.

Sayang nya, tidak ada balasan sama sekali untuk ucapan itu. Tea malah bergegas ke kulkas dan mengambil beberapa buah, untuk kemudian dia potong-potong.

"Kamu mau buat salad buah? Papi bantuin ya?"

Tea masih tetap diam. Dan Rion hanya bisa menghela napas pasrah.

"Tea, ini sudah seminggu sejak kamu mengabaikan Papi." Akhirnya, kalimat yang itu Rion ucapkan juga. Dia benar-benar sedih karena Tea mengabaikan nya. Iya, tentu dia tahu kesalahan nya sefatal apa. Tapi bukan berarti dia berhak mendapatkan silent treatment seperti ini hingga satu minggu lebih.

"Papi bahkan sudah berkali-kali minta maaf, dan respons kamu tetap sama. Jadi Papi harus melakukan apa supaya kamu menganggap Papi ada?" Benar, di setiap kali ada moment dimana dia bertemu dengan anak gadisnya, Rion selalu mengatakan maaf, meskipun Tea tidak merespons apapun.

"Kamu tahu, betapa sedihnya Papi ketika kamu selalu diam seperti ini?"

"Bahkan rasanya sama persis seperti Papi kehilangan Mami kamu." Kalimat yang Rion ucapkan membuat Tea menghentikan kegiatan nya, lantas menghadap sang Papi dengan mata tajam nya.

"Dan Papi tahu gimana rasanya waktu Papi nampar aku?!"

Rion bungkam dengan tatapan sayu nya.

"It's hurt. It's really hurt!"

"Dan Papi tahu, detik itu juga, rasanya aku pengen nyusul Mami!"

"Adrastea!" Bentak Rion tiba-tiba. Dia refleks melakukan itu karena takut. Lagian orang tua mana yang akan merespons biasa-biasa saja saat mendengar kalimat anaknya yang mengatakan ingin mengakhiri hidup.

"Apa?! Mau nampar aku lagi?!" Namun, Tea salah tanggap. Dia menganggap Papi nya marah besar dan akan menamparnya lagi.

Rion menggeleng pelan. Raut wajahnya penuh dengan rasa frustasi.

"Papi minta maaf. Papi benar-benar minta maaf untuk itu."

"Kalau kamu memang tidak terima dengan itu, kamu bisa membalasnya." Rion segera mendekat, lantas memasang wajah supaya Tea balas menamparnya.

"Tampar Papi sekeras yang kamu mau. Balaskan rasa sakit tamparan Papi di sini." Katanya lagi sambil menunjuk pipi kirinya.

Sementara itu, Tea hanya diam. Matanya berkaca-kaca, dan dadanya naik turun dengan cepat, karena menahan emosi dan tangisnya supaya tidak keluar.

"Adrastea---"

"Aku benci sama Papi!" Lalu begitu saja, Tea bergegas pergi dengan cepat meninggalkan Rion yang termenung di dapur.

"Ya, kamu berhak membenci Papi, Tea. Karena Papi bukan ayah yang baik buat kamu. Papi jahat."

Satu hal yang Rion sadari ketika Tea beranjak remaja; kalau ternyata, menjadi orang tua tunggal untuk anak remaja, itu bukan tugas yang mudah.

Me vs PapiWhere stories live. Discover now