SoL 8

3.8K 720 51
                                    

Operasi atas permintaan Dokter Alam—yang paling susah untuk ditolak pun akhirnya selesai. Dokter Alam mendelegasikan tugas untuk menjahit sayatan pada perut seorang wanita yang baru saja melahirkan itu pada Eros. Ya, memang sudah menjadi tugasnya untuk patuh terhadap semua perintah sang konsulen. Hitung-hitung menambah pengalamannya juga, kan.

Usai menyelesaikan tugas, calon pewaris takhta Wardhana Godlen Hospital itu pun kembali bergabung dengan rekan-rekannya di ruang jaga residen. Keadaan terhitung aman terkendali. Mereka masih punya waktu untuk menjajal konsol game terbaru yang dibeli Marcel beberapa hari yang lalu.

"Eh, muka lo kenapa? Kok bonyok kayak begitu?" ucap Marcel. Ia merasa sedikit terkejut karena mendapati wajah rekan sejawatnya itu terlihat lebam, terutama di bagian sudut bibir dan pelipis. "Lo habis ngapain?"

"Biasa. Laki-laki," sahut Eros singkat. Ia tak begitu mempedulikan secuil perhatian yang baru saja ditunjukkan Marcel. Konsentrasinya dipusatkan penuh pada layar di depannya. "Laper banget."

"Bener-bener nih orang. Lo habis ngapain sampe babak belur kayak begini? Berantem sama siapa? Lo bikin masalah? Berantem di mana?" Marcel terus memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum juga terjawab. "Er, jawab, dong."

"Kemarin sedikit peregangan otot. Sama siapa, gue nggak kenal. Gue bikin masalah? Come on, dude. Lo gila? Kejadiannya di mana? Rumah singgah. Gue udah jawab semua pertanyaan lo, kan. Sekarang, jangan ganggu gue. Gue mau main dulu."

"Wait, pertanyaan gue ... kenapa lo bisa sampe ikut-ikutan?"

"Gue paling nggak suka kalau ada laki-laki kurang ajar sama perempuan. Apa gue harus diam aja kalau ada laki-laki pengecut kayak begitu di depan mata gue?"

"Lo hajar dia?" sahut Marcel. Eros mengangguk. "Fine, sekarang gue yakin kalau keadaan dia jauh lebih parah dari lo."

"Masih mending dia nggak mati."

"Ceweknya nggak apa-apa? Alasan mereka berantem apa? Lo ada tanya nggak? Terus akhirnya gimana?"

"Kayaknya sih nggak apa-apa. Alasan mereka berantem? Mana gue tau. Gue nggak mau tau urusan orang. Akhirnya gimana? Akhirnya ... gue balik. Sampe rumah gue mandi, terus tidur. Selesai."

"Lo tuh aneh ya, Er," ucap Marcel yang sukses membuat laki-laki dewasa dengan stick game di tangannya itu mengernyitkan kening.

"Aneh gimana?"

"Seharusnya, sebelum lo pergi dari sana lo pastiin dulu keadaan cewek itu. Jangan langsung cabut. Tanyain ada yang sakit atau nggak. Dasar nggak peka. Pantesan lo jomlo akut."

"Di sana dia sama dua temannya, kok. Gue yakin kalau dia baik-baik aja. Lagian semalam gue ngantuk banget, jadi nggak kepikiran apa-apa lagi selain kasur."

"Seenggaknya tanya namanya, Er. Kan enak kalau kalian sewaktu-waktu ketemu di jalan. Bisa nyapa."

"Gue udah tau namanya, kok. Bayu mana?" tanya Eros. Sejak ia kembali dari ruang operasi, ia memang tak menangkap keberadaan rekannya yang satu itu. "Nyamperin Larasati lagi?"

"Menurut lo? Jam segini ya dia lagi ke perina, lah. Bentar lagi juga balik."

Ia tercenung seketika. Memikirkan semua yang terjadi semalam. Teringat akan ia yang langsung saja melengos tanpa mengacuhkan ucapan terima kasih yang terlontar dari bibir Lily.

Hari demi hari dilewati. Sama sekali ak ada yang berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Ia masih disibukkan dengan jadwal jaga yang seakan tak pernah berakhir.

Sore ini, Eros dan beberapa rekan sejawatnya diminta mendampingi Dokter Setyo untuk visite ke beberapa bangsal pasien obgin. Ada beberapa pasien yang harus dikunjungi sore ini. Ia dan beberapa rekannya setia mengekor di belakang Dokter Setyo, membawa buku catatan dan siap mencatat semua hal yang dijelaskan sang konsulen.

Scent of LilyWhere stories live. Discover now