SoL 34

3.4K 582 59
                                    

"Masih belum," ucap Lily yang disertai gelengan pada Eros saat membuka pintu kamar mandi. Lily mengembuskan napasnya. Wajahnya terlihat sangat kecewa. "Aku minta maaf ya, Mas."

Beberapa bulan terakhir, keduanya sepakat menghadirkan bayi dengan cara alami. Namun, rupanya Tuhan masih memberi ujian. Kabar baik tentang perkembangan ukuran sel telur saat itu rupanya belum cukup menghadirkan kebahagiaan. Setiap bulannya, tak kurang dari lima alat tes kehamilan digunakan Lily. Tapi, hasilnya belum juga menampilkan apa yang diharapkan. Masih garis satu.

Setelah menunjukkan semua alat tes kehamilan yang baru digunakannya pada sang suami, ia memilih untuk menyimpan alat-alat itu ke dalam sebuah kotak. Kotak itu memang sengaja disiapkannya. Lily berharap kelak suatu saat ketika Tuhan mengabulkan doanya, ia bisa tersenyum bahagia mengingat perjuangan yang dilakukannya saat membuka kotak itu.

"Jangan sedih," hibur Eros. "Kita coba lagi."

"Sudah tujuh bulan, Mas. Mau sampai kapan? Mau sampai kotak ini penuh?" ucap Lily. Tangannya menggenggam erat kotak persegi panjang itu dengan begitu erat. Tak bisa menampik kenyataan kalau saat ini hatinya tengah dirundung nestapa. Ia selalu semangat tiap kali akan melakukan tes setiap bulannya, tapi semangat itu dipatahkan dengan hasil yang didapat. "Kenapa aku ngerasa Tuhan nggak selesai kasih kita ujian, Mas. Aku cuma mau punya anak. Apa permintaanku terlalu muluk-muluk, Mas?"

Eros segera mendekap istrinya. Ingatannya memutar kembali kenangan betapa bahagianya Lily saat tahu ukuran sel telurnya mengalami kemajuan yang signifikan beberapa bulan yang lalu. Lily memang sebahagia itu. Bahkan, dengan semangatnya Lily mengajak Eros untuk berbelanja bahan makanan sehat.

Meskipun dirinya seorang dokter spesialis kandungan, kuasa Tuhan sama sekali tak masuk dalam konteks pembelajarannya. Kondisi Lily memang dinyatakan baik-baik saja. Di kasus ini, memang kuasa Tuhan-lah yang mengambil peran penting.

"Kamu nggak boleh ngomong begitu. Nggak baik berburuk sangka sama Tuhan." Eros menangkup wajah Lily yang sudah basah karena air mata. "Kamu jenuh?"

"Nggak. Bukan begitu. Kadang, ada kalanya aku ngerasa capek. Tapi, setiap kali aku ngebayangin gimana bahagianya punya anak, aku semangat lagi. Kita yang pengin banget punya anak, kenapa susah banget, ya? Tapi, mereka yang melanggar aturan malah gampang banget dapatnya. Bahkan, dengan mudahnya buang anak untuk menghindar dari tudingan buruk masyarakat. Kita sudah melakukan semuanya sesuai anjuran dokter. Tapi, kenapa—"

"Sabar."

"Aku minta maaf, Mas. Aku minta maaf karena sudah banyak mengeluh selama ini. Kamu pasti kesal kan, Mas?"

"Nggak. Sama sekali nggak. Kita suami istri. Sudah seharusnya kita sama-sama melalui ini semua."

OoO

Lily sudah kembali menyibukkan diri di toko bunga sejak beberapa bulan yang lalu. Alasan bosan berdiam diri di rumah digunakannya untuk merayu sang suami demi mendapatkan izinnya. Berinteraksi dengan banyak orang sedikit banyak bisa menghiburnya dari kesedihan.

Akhir-akhir ini, toko bunga dibanjiri banyak pesanan. Pesanan buket wisuda, pertunangan sampai pernikahan pun menunggu untuk segera dikerjakan. Sibuk bekerja membantu Lily untuk melupakan masalah yang tengah menimpanya.

"Nes, coba kamu telepon Omah Manten. Tanya mereka kapan mau kirim konsep buket pengantinnya. Sekalian bilang ke Mbak Senja jangan mepet-mepet kalau mau revisi. Kita kan juga harus mengusahakan bunga-bunganya. Kamu tau sendiri kalau customernya Omah Manten maunya suka yang aneh-aneh. Aku mau ke Lenggah. Kamu sama Puput lanjut garap yang bisa digarap dulu."

"Baik, Mbak," sahut Ines.

Sejak mantap menjalankan program, Lily mulai mengerem kebiasaannya meminum kopi. Tapi, matahari yang begitu terik membuat cuaca semakin terasa panas. Segelas es kopi mungkin akan menjadi pilihan yang baik.

Scent of LilyWhere stories live. Discover now