Chapter I

231 17 2
                                    

Kriingggg.. Kringggg...

Pukul 05:32

Jam beker usang membangunkan pria muda yang sedang terlelap dibalik selimut yang mendekapnya semalaman. Sedikit demi sedikit cahaya mulai masuk melalui jendela kaca yang sedikit terbuka di samping ranjangnya, Matanya mengerjap ngerjap mencari sisa kesadaranya untuk segera memulai aktifitas di pagi ini. Lantas pemuda itu segera terduduk di ranjangnya dan lengan kanannya mematikan jam beker kecil yang berada di atas meja belajar sumber bunyi nyaring. Setelah nyawanya terkumpul pemuda itu lantas berdiri menuju bak mandi untuk menyegarkan badannya.

Setelah membersihkan badanya pemuda tersebut memulai aktifitas rutinya membaca buku dan meminum kopi sebelum akhirnya pergi berangkat sekolah. Berjudulkan Gerakan Sayap Kiri yang ditulis tokoh pahlawan terkenal Tan Malaka, pemuda itu sangat fokus dengan pikiranya yang mulai terbang menembus imajinasinya. Dia menyukai sejarah, semua buku sejarah hampir di babat habis olehnya. Seperti buku Mein Kamf, yang ditulis Adolf Hitler, Madilog, yang ditulis Tan malaka, atau buku Soekarno.
Sesekali pria tersebut menyeruput kopi hangatnya yang berada di sampingnya, raut wajanya tidak berekspresi, sorot matanya tajam, rahangnya yang terlihat tegas, hidungnya yang mancung. Wajah seriusnya akan terlihat sama saat ia membaca buku. Tapi pikiranya yang mulai berkelana seiring dengan alur cerita buku yang di genggamnya.

Aslan Xavier pemuda kelahiran Jakarta tahun 2002 yang sekarang sedang duduk tenang sambil membaca buku kesukaanya yaitu Sejarah. Ibunya seorang Sastrawan dan Ayahnya guru di sekolah Sekolah Teknik Menengah (STM) atau sekarang berganti nama menjadi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Dia hidup damai dengan hidupnya saat ini, Sekolah pulang lalu bermain. Namun sesekali harus terlibat pada pergaulan anak Jakarta.
Melihat jam beker kecil di depanya yang sudah menunjukan Pukul 06:12 Aslan segera bangkit dan mengganti pakaianya dengan seragam putih abu yang tergantung rapih di dalam lemari kayu pojok kamar. Aslan melihat dirinya dalam cermin besar, menampilkan seluruh tubuhnya.

"Udah cakepp dah inimah" gumamnya dalam hati sambil tersenyum.

Aslan lantas mengambil sepatu Converse hitam di rak sepatu dekat pintu keluar kamarnya. Rambutnya yang agak panjang sesekali menutupi pandanganya saat mengikat tali sepatu. Untuk seorang pelajar rambutnya akan bermasalah jika diketahui guru, namun Aslan tidak akan pernah mempermasalahkan hal sepele yang menurutnya nyaman. Aslan segera bangkit dari duduk dan segera menuruni tangga rumahnya. Di ruang tamu terdapat ibunya yang sedang menonton tv fokus. Aslan segera berjalan ke arah pintu keluar

"Buu Aslan berangkat dulu" ucap Aslan sambil membuka pintu besar berwarna cokelat tersebut.

"Awas jangan tawuran lagi!!" Hardik ibunya tegas dengan mata yang tidak lepas dari layar televisi. Tak ada jawaban dari Aslan, dia fokus berjalan menuju pagar rumah.

"Woyy anak kecil" teriak seseorang dari belakang yang menghentikan langkahnya.

Aslan berbalik lalu menengok ke belakang untuk melihat pelaku siapa yang memanggilnya. Disana terdapat pria paruh baya, berkumis tebal bersarung kotak kotak kusut dan kaos putih oblong yang melar.

"Ehh engkong" ucap Aslan sambil nyengir, menampilkan gigi putih rapihnya.

"Lu kaga ada sopan-sopanya ama orang tua" hardik Pa Idris selaku kakeknya Aslan yang sedang jongkok sambil ngemandiin burung Lovebird hijaunya dengan semprotan di tanganya. Mendengar itu Aslan segera berjalan ke Pa Idris mendekat. Dia menjulurkan tangan dan disambut oleh lengan keriput Pa Idris.

"Udah salam ke enyak lu belum?" tanya Pa Idris tajam sambil kembali menyemprot burungnya yang bernama Alek.

"Hehe... Lupa kong" balas Aslan cengengesan sambil garuk garuk kepala yang tidak gatal.

ColonialWhere stories live. Discover now