Chapter III

114 14 1
                                    


Aslan melemparkan tasnya ke pojok kamar. Badanya letih untuk sekedar berjalan di tangga kamar. Dia melemparkan tubuhnya ke kasur empuk yang tampak rapih. Sepatu Converse nya yang masih terpasang belum ia lepas karena rasa letih yang terlalu menginvasi dirinya. Satu kata untuk sore yang melelahkan ini dia menginginkan ISTIRAHAT!. Aslan memejamkan kelopak matanya berharap bisa terlelap, namun keluar bayangan sosok wanita itu muncul kembali di sela sela matanya yang terpejam. Menerka siapakah wanita itu dan kenapa dia peduli pada seorang anak berandalan sepertinya. Aslan kembali membuka netra mata cokelatnya. Aslan segera menyingkirkan gorden yang menutup sinar matahari masuk. Kamar rapihnya terlihat saat cahaya masuk secara perlahan ke setiap sudut kamarnya. Aslan terduduk dengan rasa penasaran yang mengaduk. Pikiranya berkecamuk entah kepada bumi semesta ataupun perempuan itu yang jelas dia bimbang pada keadaan yang membuatnya gelisah. Dia sematkan satu kata di dalam pikiranya. Dia harus berterima kasih.

Aslan segera membuka sepatu Converse nya tergesa. Melihat jam beker di meja belajar kayunya yang masih menunjukan pukul 16:20 cukup untuk mencari keberadaan wanita tersebut dan jalan-jalan di aspal jakarta. Aslan segera membuka lemari yang berisi kaos-kaos hitam bersablon band-band metal seperti Nirvana, Ramones,Burgerkill,The Cure,The sigit, suicide silince maupun the beatles. Aslan segera mengambil salah satunya yang bertuliskan Ramones, nama salah satu band terkenal yang mendunia. Tak lupa dia mengganti celana abunya dengan celana pendek hitam selutut. Setelah semuanya oke dia melihat ke cermin dan mengambil aksesoris sapu tangan merah/Slayer yang ia kaitkan di saku belakang. Aslan segera mengambil sepatu vans putih bermotif kotak-kotak catur yang berada di rak sepatu dekat pintu keluar.

Aslan bergegas keluar kamar setengah berlari. Menuruni tangga satu persatu, di anak tangga terakhir dia memelankan langkahnya. Melihat orang tuanya sedang menonton televisi fokus. Aslan mengendap ngendap pelan seperti seorang maling yang takut ketahuan maling sendal. Iaa berjalan jinjit pelan.

"Mau kemana...?" tanya ibunya dingin tanpa menoleh sedikitpun.

"Ke.. ke.. kerumah Abeng bu" jawab Aslan gugup sambil menunjuk arah rumah Abeng.

"Baru pulang udah pergi lagi, inget hukuman kamu itu belum kelar" ujar Bu Ambar selaku ibunya Aslan.

"Bentaran doang" jawab Aslan lalu berjalan ke arah pintu tanpa mempedulikan ibunya.

"Awas kalo pulang malem!!" hardik Ibunya tegas.

Langkahnya membawanya sampai ke garasi yang jarang terkena sinar matahari. Aslan segera membukakan gerbang troli dan menggesernya ke atas. Cahaya sinar senja masuk secara perlahan ke dalam garasi lembab yang diisi beberapa kecoa yang mulai bersembunyi tatkala sinar senja menyorotnya. Udara pengap yang berada di ruangan sedikit demi sedikit hilang dibawa angin segar sore hari. Aslan membuka tirai hitam yang menyelimuti motor. Motor Cafe Racer dengan mesin dua silinder terlihat mengkilat saat tirai terbuka dengan sekali tarikan. Bodinya full black dengan mesin yang dibuat silver sebagian. Aslan segera mengambil kunci yang tergantung di atas peti peralatan bengkel di samping ruangan. Tidak lupa dia mengambil helmet cakil hitam mengkilat di atas lemari.

Kunci motor dimasukan. Memutar kunci ke arah on, led hijau hidup dan Aslan mulai menyalakan motor tersebut dengan sekali starter. Beepp...beepp..beeppp..beeeppp... Suara mesin dua silinder menggema di ruangan garasi yang kosong. Aslan memasukan gigi dan motor meluncur keluar begitu saja.

"Woyy anak kecil.. kemane luuu...??" tanya Pa Idris ketika melihat Aslan keluar melewatinya begitu saja.

"Cari angin kong" balas Aslan dengan tetap menjalankan motor Cafe Racer nya. "Angin ko dicari, terus dia nafas pake apa?" gumam Pa Idris pelan berbicara pada dirinya sendiri. Pa Idris mulai melanjutkan aktifitasnya mengobrol dengan si Alek.

ColonialHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin