Chapter VI

94 15 0
                                    


"Apa jangan-jangan..."

   Antara iya atau tidak terhadap pikiranya yang menyuruh membuka pintu tersebut. Gemboknya ada empat dan menumpuk, namun semuanya telah berkarat karena di makan usia. Tertempel papan kayu dengan tulisan Djangan di boeka kecoeali Boeng Karnoe! Dengan perasaan yang menduga duga Aslan semakin penasaran terhadap apa yang ada di balik pintu itu. Aslan segera mencari sesuatu untuk membukanya.

BRRAAKK... BRRAKKKK... BRAKKK...

   Beberapa tendangan Aslan hantamkan kepada pintu itu. Tendanganya semu tidak ada tanda-tanda akan kebuka. Mata Aslan segera mencari sesuatu untuk bisa mencungkil gemboknya. Secara menyeluruh matanya menelusuri apa pun yang ada di sana sambil mengelap keringatnya yang semakin banyak, ruangan di sini berhawa panas, namun sangat dingin ketika di luar ruangan. Aslan mendekati pintu tersebut, melihat gemboknya secara detail, gembok dengan ukuran 10cm kesamping dan 15 cm ke bawah. Gembok ini kuat, namun karena usia, karat sudah lebih dulu merusaknya dari luar.

   Dari semua buku yang pernah ia baca, seperti misteri, sejarah, dan para Arkeolog. Aslan tau pasti di semua peninggalan selalu ada teka teki dan Aslan berpikir mungkin di sini ada kunci untuk membukanya. Aslan tau Bung Karno bukan orang sembarangan, dan tidak mungkin juga jika kuncinya di bawa kemana mana. Pasti Bung Karno menyimpannya di suatu tempat. "Pasti di suatu tempat" gumamnya dalam hati. Lalu segera mencari ke seluruh sudut dapur. Membuka buka lemari kayu usang. Lemari rotan dan laci-laci. Hasilnya nihil. Mata hitam Aslan kembali memutar mengelilingi semua yang ada di sana dan terhenti tepat saat menemukan objek peti kemas yang ada di bawah meja makan. Kaki jenjangnya ia langkahkan mendekati peti besar itu. Aslan berharap menemukan sesuatu di dalamnya untuk ia gunakan guna menghancurkan gembok tebal yang menahan.

   Lengannya membuka peti itu, di dalamnya banyak peralatan perkakas seperti palu, linggis kecil, dan beberapa keris lama. Kecoa yang melihat cahaya langsung berlarian kesana kemari mencari tempat gelap untuk kembali bernaung. Aslan mengambil palu berukuran kepalan lengan juga linggis hitam. Pisau yang tadi di pegang ia masukan kembali ke wadahnya. Dengan peratalan yang memadai Aslan siap menghantam gembok sialan itu.

BRAAKK...

   Satu gembok mulai terlihat bengkok, Aslan memasukan linggis ke lubang gembok dan memalu linggis itu berharap bisa tercungkil.

BRRRAKKK...

   Linggis dan palu beradu. Satu gembok terbuka mudah, mungkin karena karat yang sudah merusaknya dari luar maupun dalam. "Hehe... Harta karun Engkong Karno..." tawanya berharap.

DUUUARRR...

   "Ayam-ayam" ujar Aslan sambil terperanjak kaget mendengar suara petir yang menggelegar. "Ambek kek nya ama gua tu langit" ucap Aslan pada dirinya sendiri. Aslan lalu melepaskan gembok tua yang masih tergantung. Sisa tinggal 3 gembok yang masih setia menggantung kokoh. Dua gembok berukuran sedang dan satunya besar. Aslan langsung menghantam gembok yang tersisa dengan amat keras. Dengan cara tadi mencungkilnya dengan linggis Aslan berharap gembok kedua juga mudah.

°~~~°

   Setelah menghancurkan beberapa gembok Aslan segera beristirahat dengan menyulutkan rokoknya. Rokok menyala, rasa capeknya ikut pergi bersama asap rokok Sampoerna nya, Aslan mengambil Gadgetnya yang mati menatapnya sedih karena Gadgetnya tak kunjung menyala. Aslan menatap gembok terakhir yang masih tergantung, ukurannya cukup besar dan tidak mungkin linggis kecil dapat melepaskannya. Ia mendekati pintu misterius tersebut dengan pikiran yang bertanya tanya. Apa yang ada di dalamnya? Pandangan kembali tertuju pada tulisan peringatan yang tertempel. Aslan segera mengambil linggis yang tadi di simpan. "Djangan di boeka kecoeali Boeng Karnoe" bacanya pelan. Aslan mengetuk ngetuk papan itu, dan Aslan merasa bahwa ada ruang di balik tulisan itu. Lengannya merogoh korek di sakunya untuk mendapatkan cahaya. Pandanganya tidak jelas karena tempat memang gelap, hanya kelihatan kilatan demi kilatan petir yang menerangi ruangan sesaat. "Jangan di Boeka!" Kalimat itu berisi penekanan.

ColonialTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon