Chapter XIX

37 10 0
                                    

Anak muda dengan mata yang berwarna cokelat itu menatap tajam ke arah langit hitam yang kuasai bintang. Beberapa burung terlihat terbang seiring dengan suara tembakan yang jelas terdengar masuk ke dalam indra pendengaranya. Suara yang membuatnya khawatir akan sesuatu yang terjadi beberapa meter dari arahnya.

  Mendengar suara itu Aslan berlari ke arahnya, untuk melihat apa yang terjadi. Ilalang tinggi ia terobos dengan paksa meski sesekali kulit lenganya terkena sayatan duri dari tumbuhan liar yang ia tabrak. Ada perasaan takut di dalam hatinya, namun rasa penasarannya jauh lebih besar daripada ketakutan yang ada di hatinya. Aslan berlari cepat meski langkah mulai sedikit gontai karena stamina yang sudah berkurang terus ia paksakan untuk bergerak.

  Sampai di lokasi terlihat beberapa tentara Belanda yang sedang menggusur mayat satu persatu. Tubuhnya sengaja ia sembunyikan di balik pohon untuk menghindari jangkauan penglihatan dari musuh agar dirinya tidak ketahuan sedang mengintai.
  Berusaha merangkum apa yang terjadi di depanya itu. Tak lama barikade pasukan mulai bergerak membuat Aslan sedikit terkejut dan gentar saat puluhan tentara mulai berdatangan melewati pagar. Nalurinya berpikir, mungkin sesuatu yang besar sudah terjadi di sini terlihat dari raut panik para tentara yang tampak tertekan.

  Satu petinggi Belanda muncul dengan rentetan lencana penghargaan dan pangkat yang terkait di kemeja dinasnya.

Ohh jadi si Botak yang yang mimpin. Batin Aslan.

  Petinggi itu mulai berbicara memberi arahan pada prajurit yang kini berbaris rapih. Posturnya yang tegap membuat kharismanya bertambah dan semakin gagah saat suara lantangnya memberi perintah.
  Setelah merasa situasi mulai tidak kondusif Aslan berjalan pelan mundur ke belakang dengan hati-hati. Berusaha pergi tanpa meninggalkan jejak sedikitpun.

  Mundur bukan berarti kalah, tapi pilihan terbaik untuk menggapai kemenangan. Langkahnya pelan, namun tidak tertekan. Keputusanya tepat karena ia sadar ia hanya seekor kelinci di wilayah kekuasaan serigala.
  Setelah berjalan menjauh anak muda itu kini berjalan lagi ke dalam hutan yang gelap, dengan sejuta pikiran yang amat berisik di dalam isi kepalanya. Bertanda tanya tentang keberadaan rekan yang sangat ia khawatirkan. Yaitu Bung Toni. Berjalan tergesa dengan rasa tak karuan di dalam hatinya, raut yang terlihat gelisah ia pancarkan.

  Di tengah jalan, tiba-tiba muncul lengan yang membekap mulutnya rapat. Aslan meronta berusaha melepaskan lengan itu. "Diam bung!" Bisik sang pelaku. Aslan yang sadar akan suara pelaku,nafasnya perlahan tenang. Mengikuti laju tarikan yang membekapnya.

  Tak lama suara derap kaki para sepatu serdadu terdengar mendekat. Mendekati para pejuang kemerdekaan yang sudah tak berdaya. Aslan, Bung Toni, Iwan, Dudi dan Oka. Mereka berlima bersembunyi di celah gua sempit di dataran rendah. seperti sebuah rawa kering, terlihat dari jalur lurus dan cekunganya. Semuanya menahan nafas dengan jantung yang berdebar dengan harapan yang sama mereka berdo'a kepada tuhan "Selamatkan kami ya allah" ucapnya dalam batin masing-masing.

"Er is geen..!!" ucap salah satu Tentara dengan bahasa Belanda yang tidak di mengerti kelompok Aslan. Nafas yang tidak karuan silih bersautan satu sama lainnya.

  Keadaan mencekam yang menentukan hidup dan mati mereka.

  Setelah beberapa menit bersembunyi tak terdengar lagi suara riuh sepatu serdadu yang mengincar mereka. Iwan merangkak pelan memastikan keadaan. Saat semuanya terlihat aman, Iwan menganggukan kepala. Memberi isyarat bahwa lingkungan sudah jauh dari bahaya para serdadu.

  Semuanya bernafas lega. Satu persatu mulai merangkak keluar mengikuti langkah Iwan yang sudah terlebih dahulu menghirup udara hutan yang segar. Malam semakin sunyi, bulan bersinar terang di balik awan kelabu yang masih berlalu lalang di luasnya cakrawala.

ColonialWhere stories live. Discover now