Chapter XVII

38 12 0
                                    

  "Bung Toni..."

   Mata Nanang terbelalak tak percaya, meskipun jarak pandang hanya terlihat beberapa meter ke depan, tapi suara rintihan itu sangat akrab bagi telinganya. Suara dari pemimpin kemerdekaan yang sekarang tertangkap tak berdaya.

"Apa kamu yakin itu Bung Toni?" tanya Iwan dengan tatapan fokus ke arah para tentara yang sedang  memukuli tawanan yang terikat.

"Jarak pandangku terganggu kabut, tapi aku yakin itu Bung Toni" kata Nanang yakin.

   Setelah puas memukuli tawanan, kedua tentara kembali ke arah gubuk bilik yang mereka tempati.

   Nanang mengambil rencana untuk menyelamatkan tawanan yang ia duga memang Bung Toni. Mereka menyusun dan merangkai aksi rencana dalam diam untuk membebaskan dan membawa pergi tawanan itu. Semuanya berkumpul memutar, mendengarkan kalimat demi kalimat yang Nanang susun.

"Rencanamu bagus, tapi kita jangan gegabah" kata Dudi. "Itu lapangan luas, di berbagai sudut Markas pasti ada tentara yang berjaga, untuk mengawasi tawanan" lanjutnya.

"Iya benar Bung" tambah Oka.

"Jadii gini.. kita tunggu sampai malam tiba, sehingga pandangan mereka sedikit terganggu untuk mengawasi tawanan, di tambah lagi kabut tebal belum menandakan akan hilang" usul Oka.

"Yaa.. benar sekali kata Oka, sebentar lagi malam tiba, ada baiknya kita bersabar untuk melakukan penyelamatan" tambah Dudi.

"Aku setuju" kata Nanang pelan.

  Mereka berempat akhirnya memutuskan menunggu malam agar lebih leluasa mengambil paksa tawanan dan menyelamatkannya.

°~~~°

  Aslan terduduk lesu di bawah pohon jati tua, bajunya yang basah kuyup akibat hujan membuat bibirnya bergetar kedinginan. Perutnya kini meronta bergemuruh.

"Busett.. perasaan kaga nyampe-nyampe gua di pengungsian" ucap Aslan dengan nada letih. "Mana udah mau malam aja ni langit" kesalnya.

   Langkah kaki tak berarah terus menggiringanya masuk ke dalam hutan yang masih lebat. Tak ada siapa pun disana. Hanya dirinya dan beberapa suara komunikasi antar monyet di atas pohon. Ia lupa membawa kompas yang tersimpan di dalam ransel besar yang sengaja di tinggalkan di gubuk desa.
   Kabut tebal yang menutupi pandanganya membuat ia lupa jalan setapak yang tadi ia lalui bersama Bung Toni dan yang lainnya. Sejauh mata memandang hanya ilalang panjang yang tumbuh subur di tengah hutan. Tak ada jalan setapak yang ia cari.

   Di sela hening yang menguasai malam, kini indra pendengaran Aslan mendengar suara grasak grusuk yang membuatnya waspada. Lengan kanan reflek memegang pisau yang terpasang di wadahnya.
    Ia berjongkok di balik batu dekat pohon besar untuk menyembunyikan diri dari musuh yang bisa datang dari mana saja. Jantung yang semula berjalan normal, kini berdebar hebat dengan keringat yang kembali bermunculan. Suara semakin mendekat. Terlihat beberapa ilalang mulai bergoyang menandakan ada yang menabraknya. Aslan menajamkan penglihatanya meski kabut sedikit menghalangi daya jangkau pandangan.

  Tak lama muncul babi hutan dengan tanduk di setiap sisi wajahnya.

Fiuhh... cuman babi. Batin Aslan lega.

   "Busett gede banget babinya..!!" kata Aslan kaget setelah melihat besarnya tubuh babi di depanya. Dengan cepat Aslan menyembunyikan tubuhnya di balik batu yang di selimuti oleh lumut liar. Detak jantungnya berdebar tak karuan saat Babi hutan itu mendekati batu yang ia pakai bersembunyi. Tubuhnya terus mundur memutari batu di waktu bersamaan Babi melangkah pelan dengan hidung yang bergerak gerak. Merasakan aroma tak biasa. Di sisi lain Aslan yang panik terus mundur dengan posisi duduk hingga jemari lengan kirinya menyentuh sesuatu. Licin tapi tidak basah. Matanya reflek melihat ke arah kiri di ikuti gerak kepalanya.
 

  "Wanyingg UUULAaaarrr..." teriaknya kaget sambil setengah meloncat kebelakang. Ular yang semula tenang mulai memasang kuda-kuda siaga siap mematuk musuh. Ular Cobra dengan panjang 2 Meter sukses membuat anak kota itu pucat pasi.

  Di tengah kepanikan terdengar suara nafas menderu di belakang punggung Aslan. Dengan perlahan dan raut takut Aslan memaksakan menoleh kebelakang karena penasaran.
   Terlihat wujud Babi hutan dengan posisi mengambil ancang-ancang untuk siap menumbuk Aslan kapan saja. Tau akan posisinya Aslan yang tak bisa berkutik berusaha tetap tenang dengan segala bayangan kematian yang menurutnya tidak keren.

Ga cool nih kalo gua mati di tumbuk tu babi. Batinya.

  Kepalanya kembali ia putarkan ke depan untuk siap lari dari ancaman yang mengintimidasi nyawanya. Ular Kobra yang siap bertarung karena merasa terancam tetap stay dengan kepala berdiri dengan kulit lehernya melebar. Aslan bergidik ngeri melihat tubuh Ular yang lumayan besar.

  Tak ada lagi celah untuk kabur. Aslan mengeluarkan pisaunya dengan situasi yang berusaha ia ubah menjadi setenang mungkin meski dirinya di apit oleh dua predator hutan. Secara tak terduga dari arah belakang dengan kecepatan penuh, Babi hutan berlari ke arah Aslan yang sedang fokus ke depan. Derap langkah rusuh juga suara hewan di belakangnya membuat Aslan reflek berdiri lalu meloncat ke atas batu yang memang berada di sampingnya. Babi yang tidak bisa menengok dan berbelok karena tidak mempunyai leher terus berlari cepat lurus ke arah Ular yang sedang setengah berdiri itu.

  Ular menyerang Babi dan mematuk kaki belakang si Babi. Terjadi perkelahian di sana. Babi melawan Ular.

   Aslan bernafas lega di terlentang di atas batu yang memiliki tinggi satu meter lebih. Ia tidak peduli lagi akan pertarungan sengit yang berada tepat di bawah, antara Ular dan Babi. Dengan rasa letih yang amat sangat dirinya pun terpejam lalu tertidur oleh rasa lelah. Suasana malam ini sunyi, dingin, di selimuti kabut, tak ada penerangan, tak ada kehangatan. Hanya sunyi ditambah varian suara jangkrik yang berdialog malam ini.

   20 menit berlalu. Aslan terbangun dengan terkaget, nafasnya terengah engah, bibirnya pucat, wajahnya putih seperti mayat, semua sendinya keram. Aslan tersadar dengan kondisinya sekarang. Bajunya basah, perutnya keroncongan di tambah dingin yang terasa menusuk kulit akan membuat ia mati jika tertidur.

   "Aaaaaaaaa....!!!" Teriaknya kencang. Aslan memberontak untuk bergerak meski jemarinya mulai kaku. "Gua harus bangun, bisa mati hipotermia nih gua kalo tidur" katanya pada diri sendiri. Dengan susah payah ia gerakan setiap otot yang mulai keram.

  Lelaki muda itu kini harus berjuang melawan udara dingin malam ini. Sejauh mata memandang hanya warna abu yang terlihat. Tak ada cahaya, tak ada mahluk hutan, hanya ia seorang. Aslan terduduk lemas sambil memperhatikan sekeliling. Nafasnya yang sempat sesak kini berjalan normal, seiring dengan peredaran darah yang awalnya sedikit melambat. Jemarinya perlahan mulai ringan untuk di gerakan. Kakinya yang kaku mulai bisa ia angkat dan di lenturkan.
    Lengan kananya yang terlihat pucat putih sedikit demi sedikit bergerak ke arah kantong jaket yang ia pakai. Mencari sesuatu yang ia harapkan ada disana.

"Apapun yang terjadi, ngudud solusinya" ucapnya sambil tersenyum saat lenganya menggenggam setengah rokok yang ia ambil di dalam saku jaketnya. Jemari jemarinya mulai melanjutkan aksinya untuk menyulut rokok yang sedikit bengkok itu.

"Huhhhh...."

"Enak bet ya allah..." katanya senang saat hisapan pertama menembus rongga hidungnya yang sedikit berair. Setelah merileks kan semua ketegangan di tubuhnya, Aslan turun dari batu besar tempat ia beristirahat tadi. Langkahnya yang sedikit gontai ia tegakan paksa, untuk membuat peredaran darahnya lancar.

"Satu dua tiga empat lima enam tujuh lapan" katanya sambil menggerakan tubuhnya melakukan pamanasan. "Dua dua tiga empat lima enam tujuh lapan" lanjutnya sambil berlari lari kecil di tempat. Selanjutnya ia memutar mutar palanya berurutan meregangkan otot leher yang awalnya sedikit kaku.

  Badan yang kaku kini sedikit ringan, membuat Aslan bisa sedikit beradaptasi dengan udara di sekitarnya. Saat hendak melangkah matanya menangkap sosok Babi Hutan yang tadi menyerangnya terkujur kaki di atas tanah. "Haha.. badan doang bongsor, sama ular kalah lu Babiii" kata Aslan dengan menendang nendang mayat Babi yang sudah tak bergerak itu.

  Kini anak kota itu kembali berjalan ke arah tebing yang tadi ia pakai menjebak para musuhnya. Mengingat patokan arah pengungsian yang memang melewati sungai.
"Sungai dan jembatan" ucapnya pelan.

ColonialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang