Chapter XXII

38 7 0
                                    

"Ngiming-ngiming si Aslan kemana Beng?" tanya Bona yang baru sadar akan hilangnya sosok pemuda tangguh gila tawuran itu. "Tumben tumbenan tu anak WA nya kaga aktif" lanjutnya.

"Lahh.. napa nanya ke gua lu Na" kata Abeng dengan raut bingung.

"Iyaa tumben bet tu bocah kaga nongol" tambah Kiwing dengan wajah penasaran.

"Biasanya lu berdua terus kaya Homo" sambung Bekam.

"Taii lu Kam. Mana gua tau tu anak kemane" ujar Abeng kesal sambil melempar kulit kacang kepada Bekam yang sedang setengah tertawa itu.

Setengah kumpulan pemuda hanya tertawa pelan melihat raut kesal Abeng.

"Jadi ini fix nihh jadinya kita serahin ame Bona?" kata Boy memastikan.

"Yaiyaa.." jawab mereka serentak, dan sisanya mengangguk setuju.

"Yaudaa kalo gaada sabet sabetan malem inii gua duluan yoo, nyokap gua lagi sakit soalnye gaada yang nemenin" kata Boy pamit undur diri.

"Yahh Boyy.. padahal gua udah bawa penghangat inii" ucap Kiwing sambil merangkul bahu Boyy hangat.

"Yaa sorry kalian lanjut aja dulu, enyak gua sakit. Masa gua mabok disinii" keluh Boy merasa tidak enak.

"Yaudaa dehh cepet sembuh ya enyak luu, kalo ada apa-apa kabarin kite pada" jawav Kiwing memberi perhatian.

Setelah perundingan malam itu di tutupi dengan 7 botol intisari yang mulai di keluarkan satu persatu. Mereka bernyanyi, menari, bermain kartu remi dan bersenda gurau tanpa adanya rasa iri ataupun dengki satu sama lain. Tidak ada kisah cinta, karena dari jaman ke jaman haram hukumnya membicarakan wanita saat semua pria berkumpul dalam satu tempat tongkrongan.

"Kisah cinta adalah hal tabu yang tidak layak untuk di umbar ke semua orang"

Ucap Kiwing sehabis mabuk berat.

***

Cahaya matahari perlahan masuk ke dalam indra penglihatan seorang anak muda yang di selimuti rasa letih. Badanya seakan remuk pagi itu. Luka tembak yang ia terima kini sudah terbalut oleh perban berwarna putih. Secara perlahan ia bergerak, menikmati sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Semua persendian yang kaku, kepala yang berat, perut yang lapar, kaki yang lecet akibat sepatu yang ia pakai terikat terlalu kencang.

"Kau sudah siuman anak muda?" tanya seorang kakek tua di pojok ruangan.

Aslan tidak menjawab karena tenggorokannya yang terasa amat sangat kering. Dengan isyarat meminta air Aslan memberi kode dengan lenganya. Kakek tua dengan peci hitam miring itu hanya memperhatikan lawan bicara di depanya lewat pikiran yang bertanda tanya.

"Mangan?"

Aslan menggeleng pelan tanpa menjawab perkataan Kakek di hadapannya.

"Lapar?"

Aslan kembali menggeleng pelan. Raut wajah mulai terpancar sedikit kesal. Aslan menelan ludah lalu mulai memberikan suara. "Mii.. mi.. num.." ucap Aslan terbata bata, di iringi suara yang amat serak.

"Opo..??" ucap Kakek penasaran mulai mendekatkan tubuhnya menjadi lebih dekat kepada anak muda yang terlihat pucat itu.

"Mii..miinum Kek..!!" kata Aslan dengan suara yang ia keluarkan semaksimal mungkin.

"Tidur?" tanya heran sang Kakek, dengan jari yang menggaruk garuk kepalanya yang tidak gatal sama sekali. Kakek itu mencondongkan telinganya agar mendengar suara anak muda di hadapanya itu.

"Minuummm!!" kata Aslan setengah berteriak karena kesal.

Tak lama tirai ruangan terbuka cepat menampilkan sosok wanita paruh baya masuk membawakan makanan sederhana khas pedesaan. Ubi bakar dan singkong rebus tersaji di hidangan kali ini. "Ehh.. ehh udah bangun ternyata" ucap wanita tua itu dengan senyum hangat yang ia tampilkan di wajahnya. Wanita tua itu mulai mendekat untuk melihat kondisi anak muda yang terbaring lemas di hadapannya.

"Minum Buu.." ucap Aslan amat pelan. Wanita tua itu mengangguk pelan mengerti apa yang di inginkan anak muda. Segera ia menyodorkan air putih yang tadi ia bawa bersama hidangan yang siap ia santap.

Aslan menerimanya dengan perlahan seiring dengan rasa nyeri di sekujur anggota tubuhnya. Air mulai mengalir ke dalam kerongkonganya lewat setiap tegukan yang ia lakukan.

"Ohhh.. minum" ucap Kakek tua itu sambil tertawa. Menampilkan giginya yang habis karena usia yang udah tua "Bilang dong kalo haus" lanjutnya bahagia.

Lahhh, gua perasaan tadi bilang minum. Batin Aslan kesal.

"Kakek pendengaranya udah kurang, jadi kalo kita ngomong gabakal kedenger" ucap wanita paruh baya menjelaskan.

Pantesannn gua bacot kaga nyambung. Batin Aslan kesal.

Aslan mengangguk pelan dan mulai paham pada Kakek Ompong tersebut. Anak muda itu mulai memaklumi sang Kakek dengan rasa kesal yang segera ia kubur dalam-dalam. "Makasi bu" ucap Aslan menyodorkan gelas yang terbuat dari potongan bamboo hutan. Wanita tua itu hanya mengangguk menjawab perkataan Aslan yang tersenyum manis padanya.

"Mau rokok?" tawar sang Kakek menyodorkan satu rokok yang entah dapat darimana. Aslan hanya menatapnya sinis karena tawaran itu.

Kaga liat ape gua tepar gini malah di kasih udud. Batin Aslan yang hampir muka + kesal.

"INIIII.. BOCAH LAGI SAKIITTT!!! JANGAN DI TAWARIN ROKOK!!" teriak wanita tua itu di samping telinga kanan Sang Kakek.

"OOoohh.."

Kakek tua dengan gigi ompong hanya mengangguk mengerti setelah mendapat penjelasan ramah dari wanita di sampingnya. Aslan menatap kakek itu malas namun sedikit tersenyum karena kehangatan suasana yang ia rasakan. "Badan sampeyan uwis mendingan anak muda?" tanya Sang ibu itu di hadapanya.

"Lumayan bu" jawab Aslan dengan wajah hangat.

"Kamu itu berasal darimana? Melihat pakaianmu ini seperti bukan berasal dari negeri ini" tanya Ibu itu dengan tatapan dari mata turun ke kaki meneliti. "Kamu dari luar negeri?" lanjutnya.

Aslan menggeleng pelan namun dalam hatinya menjawab, "Aku berasal dari negeri ini bu. Cuman berbeda zaman denganmu"

"Terus dari mana kamu berasal?"

"Jakarta" jawab Aslan.

"Desa apa itu, yang aku tahu tidak ada nama desa itu di sini"

Aslan mencerna semua tanda tanya lawan bicaranya, berpikir tentang Jakarta tempat ia lahir. Mengingat zaman yang sangat jauh mungkin nama suatu kota juga pasti berbeda.

"Batavia!" ucap Aslan ketika mengingat nama kotanya di era colonialisme.

"Kurang tau aku, soalnya Ibu ini jarang main keluar desa" ucap Ibu menjelaskan.

Aslan mengangangguk ngangguk paham. Melihat raut heran Sang Ibu paruh baya di hadapanya.

"KEEKK SAMPEYAN TAU BATAVIA??" tanya Ibu tua itu dengan depan kuping Kakek tua.

Kakek hanya melamun melihat langit-langit terlihat raut wajah keriput itu berpikir keras.

"Batavia. Aku kenal orang yang berasal dari Batavia. Sebelah Barat pulang Jawa ada kota yang bernama Batavia. Kota yang maju namun di kuasai oleh Belanda" ucap Kakek tua itu sambil tertawa. "Hahaha jadi ingat masa muda aku"

Wajah yang mulai antusias terlihat dari raut yang terpancar. Aslan membenarkan posisinya untuk mendengar kalimat selanjutnya yang akan di lontarkan si Kakek.

"Aku keluar dulu, mau ngerokok" ucap Kakek tua itu.

Dengan raut kecewa Aslan termenung dengan mulut ternganga mendengar ucapan Kakek tua. Ia kecewa karena ekspektasinya tentang cerita menegangkan di masa muda si Kakek akan di ceritakan padanya, hanya kesemuan belaka.
Kakek tua beranjak dari tempat duduknya dan mulai melangkah perlahan ke arah tirai yang terhembus angin segar udara pagi. Suara anak anak terdengar ramai di balik tirai itu. Menambah rasa penasaran Aslan yang ingin berjalan jalan keluar mencari angin segar. Kakinya yang kaku sedikit demi sedikit ia gerakan hingga peredaran darah mulai kembali lancar. Meski sedikit berkeringat karena melawan rasa linu akibat persendian dan rasa pegal Aslan tetap berusaha berdiri.

"Mau kemana? Istirahat dulu" ucap Ibu di hadapanya.

"Nyari udara segar bu"

ColonialWhere stories live. Discover now