Chapter XI

63 11 0
                                    

  Kelima orang pejuang berhenti seketika, setelah letusan suara tembakan terdengar begitu nyaring. Bung Toni memberi kode untuk memutar balik ke arah Utara, karena otaknya berasumsi arah suara itu berasal dari sana. Semuanya kompak mengikuti langkah Bung Toni. Aslan yang berada tepat di belakang Bung Toni semakin mengeratkan pegangannya pada pisau panjang yang ia genggam. Langkah semakin di percepat, karena bisa saja pertempuran itu melibatkan pejuang kemerdakaan dengan penjajah.

°~~~°

Nanang berhenti berlari setelah mendengar rentetan tembakan di arah sungai. Kakinya melemas dan tak bisa lagi menopangnya berdiri. Kini ia terduduk dengan air mata yang keluar di kelopak matanya. Golok yang semula tergenggam erat kini terjatuh ke tanah cokelat yang lembab. Lengannya menutupi wajahnya, ia menangis dengan tersedu di balik telapak lengan itu. Bingung yang membludak menimpa dirinya. Karena dalam waktu tidak sampe satu jam dua rekannya gugur oleh para Company yang tidak berperi kemanusiaan.

Nanang mengusap matanya, berusaha menghilangkan sisa air yang masih terus terjatuh. Ia kembali berdiri di bantu goloknya sebagai tumpuan. Kini matanya memerah tajam. Amarah, dan dendam tumbuh di hatinya. Sorot mata ingin membunuh terpancar di manik hitam matanya. Ambisi untuk menghabisi musuh seorang diri, dengan nyawanya ataupun darahnya. Golok berkaratnya terkepal erat. Langkahnya tergesa kembali ke arah sungai. Kali ini lelaki itu di kuasai emosi yang sampe di titik batas sabarnya. Detak jantung yang semakin cepat, langkah yang semakin tergesa, kepala yang mulai panas. Berjanji pada dirinya sendiri untuk membabat habis para bajingan Belanda. Demi kawannya.

  Sampai di sungai mata hitam Nanang menangkap kawannya sudah bersimbah darah terlentang di bebatuan. Tiga luka tembak yang menembus tubuhnya dan salah satunya di kepala hingga darah segar menutupi wajah sahabatnya. Melihat ke sekitar Tentara Belanda sudah tidak di lokasi.  Kini goloknya perlahan terjatuh kembali, dengan mata yang mulai berair ia memangku kepala sahabatnya yang sudah terlumuri darah segar.

"Yaatt..."

"Dayattt.."

"Dayaaattt...!!" panggilnya dengan terisak isak.

  Di sisi lain kelompok Bung Toni melihat jalan setapak yang mengarah ke sungai. Mereka berlima berlari dengan semua dugaan yang berterbangan di dalam kepalanya masing-masing.

  Sampai di pinggir sungai salah satu lelaki yang bernama Oka menunjuk Nanang yang sedang terduduk menangis sambil memangku kepala sahabatnya yang sudah tiada. Mereka pun berlari ke arah Nanang dengan tergesa. "Nang.. Nanang.. Dayat kenapa Nang?" kata Bung Toni.

"Belanda ANJING, JANCOKKK!!" jawab Nanang emosi. Bung Toni memeriksa detak nadi lengan Dayat. Ia menggeleng tak berdaya lalu menutup kedua mata korban dengan mengucap "Innalillahi wa innalillahi rojiun"
Semuanya mengucap serentak dengan tatapan nanar. Aslan yang melihat korban bergidik ngeri. Meski sering melihat darah saat tawuran di jalanan, kali ini dia baru pertama kali melihat manusia mati dengan luka tembak. "Umaarr mana Nang... Umaarr!!" ucap Bung Toni sambil menggoyang goyangkan bahu Nanang. Reflek Nanang menunjuk sungai tanpa mengangkat kepalanya.

  Bung Toni langsung melempar senapannya, melepas bajunya dan langsung melompat ke sungai tanpa pikir panjang. Di sudut sungai di bebatuan, terlihat tubuh Umar tertelungkup tersangkut batu. Segera Bung Toni berenang ke arah mayat Umar, untuk mengetahui kondisinya. Dudi dan Iwan reflek membantu Bung Toni dan ikut menceburkan tubuhnya ke arus sungai yang terlihat deras itu.

  Dengan keadaan basah kuyup Bung Toni, Iwan dan Dudi menggotong mayat Umar ke tepian. Luka tembakan yang sama di bagian kepala. Wajah Umar sudah pucat dengan darah yang masih keluar sedikit lewat lubang masuknya peluru.

ColonialWo Geschichten leben. Entdecke jetzt