Chapter VIII

85 11 0
                                    

Suara ledakan keras mengagetkan anak manusia yang sedang menikmati makan malam sederhananya. Aslan tersedak dan terbatuk batuk karena suara yang mengganggu telinganya.

"Uhuukk.. uhukk.. aer mana aer.." dengan kecepatan panik ia membuka satu persatu resleting Ransel besarnya untuk mencari apa yang ia inginkan.

Gleekk.. glekk.. gleekkk...

"Ahh... segerr" ucapnya lega setelah meminum air yang ada di dalam Ranselnya. Aslan kembali mengambil pisau panjang yang tadi ia gunakan untuk memotong ubi. Mengenggenggamnya erat. Karena nalurinya mengatakan bahwa ia harus waspada akan bahaya yang bisa datang dari sudut dan situasi apapun. Matanya melihat jam tangan Arloji yang melingkar di pergelangan lengannya. Masih berada di pukul 19:21 namun situasi sangat hening, hanya suara dialog jangkrik yang saling bersautan. Berbeda dengan zamannya yang sangat bising oleh suara kendaraan yang memenuhi seisi kota.

Lengannya meraih senter yang tergeletak lalu segera menghidupkannya. Namun kali ini dia dilanda sial, senter yang semula bisa menerangi pandangannya skarang malah mati secara tak terduga. Aslan kesal sambil memukul mukul senternya ke arah meja. Berharap bisa menyala. Harap yang sudah di harapkan tidak terjadi untuk sekarang. Senternya tetap mati bahkan kepala senternya telah retak karena ia pukul secara terus menerus dengan amarah yang melanda kepalanya. Ia kesal pada keadaan yang menyudutkannya malam ini.
Tanpa senter Aslan mengumpulkan keberanianya untuk menghadapi gelap di luar. Keringatnya mengucur meski udara malam terasa dingin menusuk kulit. Membuktikan bahwa di dalam dirinya masih ada rasa takut. Seperti Aslan biasanya dia menenggelamkan rasa takutnya dan mulai melangkah ke arah pintu. Lengannya perlahan membuka pintu. Kakinya yang lemas dan bergetar ia paksakan untuk tetap kokoh berdiri. Langkah demi langkah ia lalui tanpa hambatan, entah ke arah mana ia berjalan. Matanya menatap tajam sekeliling dengan sikap waspada Aslan terus berjalan ke arah tengah kampung. Dengan kepala celingak celinguk waspada siaga 5.

DUAARR...

Ledakan kembali tertangkap telinganya. Aslan reflek berbalik arah sambil memasang kuda-kuda namun matanya terpejam. "Gua anak STM kaga takut sama begituaann!!!" Teriaknya dengan posisi masih kuda-kuda dan mata terpejam. Perlahan matanya terbuka. Namun tidak ada tanda-tanda manusia atau apapun yang mengancamnya.

Huuhh...

Ia bernafas lega. Setelah telinganya yang menangkap suara ledakan kini mata cokelatnya melihat kepulan asap putih yang terbang ke arah cakrawala. Rembulan terlihat begitu bersemangat malam ini, hingga cahayanya terang benderang menerangi malam mencekam.
Matanya menatap asap putih mengikuti pergerakannya ke arah langit. Aslan berlari ke arah sumber asap yang tadi di lihatnya. Melewati beberapa rumah tempo dulu yang masih berbahan bilik sebagai dindingnya. Antara takut dan penasaran Aslan berlari dengan prinsip kuat yang di tanamkannya. Sampai di rumah terakhir yang berada di pojok kampung. Matanya melihat cahaya merah di balik rindangnya hutan tropis. Kini langkahnya melambat, menyesuaikan dengan jarak lokasi cahaya yang sudah berada dekat dengan posisinya. Nafasnya sedikit terengah engah. Aslan menaiki tanah yang agak tinggi dengan akar yang menjuntai ke bawah. Pisau panjangnya ia gigit dan lengannya mencengkram kuat hingga membawa tubuhnya ke atas. Tanah dengan tinggi 2 meter. Aslan kembali melangkah perlahan dengan perasaan yang berkecamuk. Hingga kakinya pun membawa dirinya ke dalam hutan lebat yang berisi beraneka binatang buas. Terlihat cahaya itu semakin dekat, di iringi dugaan demi dugaan yang berada di dalam kepalanya.

Cahaya apa itu? Kembang api? Kebakaran? Atau orang yang lagi camping?. Batinnya.

Kini badannya terpaku tak percaya. Saat matanya melihat orang-orang dengan pakaian tempo dulu. Tanpa baju, hanya berbalut celana, sarung yang menyilang ke samping. Di sudut lain ada tentara berseragam lengkap dengan senapan yang di genggamnya. Dua kelompok yang sedang berseteru. Kini ia tau posisi ia saat ini. Aslan berjongkok sembunyi di balik pohon dan sesekali mengintip untuk menyaksikan dua kubu yang memanas.

ColonialWhere stories live. Discover now