Chapter XVIII

39 12 1
                                    

"Maaaaaju tak gentar, membeeela yang benar..."

   Aslan berjalan dengan bersenandung ria menyanyikan lagu perjuangan ciptaan tokoh kemerdekaan penting Cornel Simanjuntak. Nada yang sengaja di keraskan agar rasa takutnya hilang, dan mengisi keheningan di hutan malam itu.

"Maaaaju tak gentar Hak kiiiiita di serang.."

"Maaaaju serentak menguuusir penyerang.."

"Maaaaajuu serentak tentuu kita men.."

Buuuggg..

"Anjingg..!!!" kata Aslan terkaget mendegar sesuatu yang jatuh dari atas. "Apaan tuu??"
Matanya menyorot tajam ke semua arah, waspada akan hal berbahaya yang di timbulkan suara barusan. Indra penglihatanya reflek melihat buah durian yang masih segar di sampingnya. Instingnya mengatakan bahwa buah itulah yang barusan terjatuh dari atas pohon sehingga mengagetkannya. Tubuhnya mendekat ke arah durian segar itu. "Wihh rezeki anak cakep nih" ucapnya sambil mengambil durian lalu mencium wanginya yang khas. Perutnya yang keroncongan memberi sinyal agar Aslan harus segera memakanya. "Oke kita eksekusi everybadihhh"  kata Aslan dengan senang.

  Lenganya mengambil pisau yang terkait di celananya, dengan satu kali tebasan durian itu kini terbelah menjadi dua bagian. Aslan memakanya perlahan, perutnya yang keroncongan perlahan mulai terisi dengan makanan. Mulutnya mengunyah dengan lahap, sehingga tak terasa suapan demi suapan telah ia nikmati begitu saja hingga durian itu benar-benar habis tak tersisa. "Lumayanlah buat ngeganjel nih perut" katanya dengan lengan yang mengelus ngelus perut.
   Setelah melakukan aktivitasnya Aslan tersadar dengan lingkungan di sekelilingnya yang mulai terbebas dari kabut tebal. Kakinya ia gunakan untuk menopang tubuhnya agar kembali berdiri tegak.

Di sela hening yang menguasai malam, di balik tebalnya kabut yang perlahan mulai memudar, terdapat bulan purnama indah yang bersinar terang benderang. Untaian dialog jangkrik yang silih bergantian membuat anak muda itu tidak kesepian lagi. Semuanya terekam jelas di dalam otaknya. Tentang bagaimana ia harus bertahan hidup di tengah dingin, terbebas dari hewan liar, dan terhindar dari puluhan peluru panas yang hampir melubangin tubuhnya. Di titik ini Aslan bersyukur masih bisa bernafas. Pemuda kota itu kini melangkah kembali ke arah hutan yang mulai terbebas dari kabut.

"Oke. Kalo bulan di arah sana, berarti Timur di sana, dan Barat di sana" ucapnya mengingat rute yang bakal ia tempuh malam ini. Setelah mengingat, tanpa ragu Aslan berjalan optimis dengan rokok yang terjepit di jemarinya. Kini tak ada rasa takut dari raut wajahnya. Api semangat membara di dalam tubuhnya, agar terus hidup sampai ia benar-benar menyaksikan apa yang di tulis di buku sejarah tentang fakta kemerdekaan.

  Malam semakin kelam, kemudian semakin mencekam kala suara gonggongan anjing saling bersautan terdengar di tengah hening yang menginvasi hutan. Setelah selamat dari kelaparan Aslan lagi-lagi di terror suara-suara yang membuatnya tak tenang. Ia sadar, ada banyak sekali binatang buas di hutan, dimulai dari puncak rantai makanan yaitu Harimau jawa lalu ke yang lainnya seperti ular, macan kumbang, babi hutan, buaya yang menjaga rawa rawa dan yang lainnya. Tahun dimana hewan-hewan liar masih belum terancam punah.

  Pemuda itu memegang pisaunya erat, debar jantung yang semula hilang kini muncul kembali dan menimbulkan ketegangan dalam dirinya. Entah sampai kapan ia harus berjalan terus ke dalam hutan, yang jelas harapanya tetap sama. Yaitu pengungsian. Hujan yang lebat membuat semuanya basah, api kehangatan yang Aslan harapkan harus sirna oleh miliaran tetes air surgawi yang jatuh ke bumi petang lalu.

°~~~°

"Kalian siap?" kata Nanang pelan.

  Tak ada yang bersuara, semuanya di selimuti rasa takut. Terlihat dari wajah-wajah tegang ketiga kawanya itu. Nanang tau, penyelamatan kali ini berisiko besar, melihat luasnya lapangan yang bisa di lihat dari berbagai arah.

ColonialWhere stories live. Discover now