Chapter XII

59 11 0
                                    

"Hey Bung apakah benar kita akan menyerang pangkalan udara ini?" ucap Aslan ragu sambil memandang khawatir apa yang akan ia alami kedepannya. Aslan sudah keluar dari kodrat dari Aslan yang sebenarnya. Dia mudah takut, dia mudah bingung, dia mudah ragu. Aslan yang biasa petantang petenteng di arena tawuran. Kini nyalinya mudah ciut karena perbedaan pertempuran. Ia yang biasa menantang sabetan golok, parang, klewang, golok babi. Sekarang menjadi mati kutu jika todongan senjata mengarah padanya.

"Kau ragu anak muda?" tanya Bung Toni tajam. "Aku yakin salah satu dari mereka yang membunuh rekan kita" lanjut Bung Toni berapi api.

Aslan tidak menjawabnya. Ia hanya merutuki nasibnya karena terjebak di peperangan yang tidak ada habisnya. Tidak ada istirahat. Bahkan hari libur untuk perang ini. "Oke. Akan ku tunjukan apa itu anak STM" kata Aslan.

Melihat semangat pejuang di sampingnya, membuat Aslan merasakan ke yakinan itu. Aura kemenangan yang terus bergetar di lengannya. Entah. Apakah itu aura kemenangan atau ketakutan. Aslan tidak peduli, karena kali ini nyawanya ada di dalam genggamnya. Hidupnya ada di dalam langkahnya. Mungkin kemarin Aslan hanya memperhatikan peperangan, tapi sekarang dia terlibat.

Barisan para Tentara Company itu tampak fokus dengan petinggi yang sedang berpidato di depan. Mereka tidak menyadari keberadaan dua anak manusia yang sedang memantaunya. Mengendap ngendap bagai dua singa yang sedang memburu ratusan kerbau. Pangkalan udara yang di buat Belanda di salah satu dataran tinggi sebagai landasan. Cukup bagus untuk di jadikan markas.

Bung Toni mulai memasukan satu persatu peluru ke dalam senapan. Mempersiapkan kesiapannya agar tidak ceroboh. Aslan hanya menatap prihatin senjata yang ia pegang itu. Hanya pisau.

Glek..

Aslan menelan ludah di ikuti keraguan yang ia telan mentah-mentah. Matanya kembali menatap para Tentara Company yang terdengar bersorak sorai. Entah apa yang mereka simak dari pidato yang berbahasa Belanda itu. Jika di perhitungkan barisan paling belakang ada sekitar 50 orang. Memanjang ke depan 7 baris. Di perhitungkan sekitar 350 Tentara bersenjata lengkap. Aslan mengeratkan pisaunya.

"Bangkit melawan atau diam di tindas"

-Aslan Xavier-

"Kau pancing itu para bajingan agar menjadi dua kubu.." kata Bung Toni dengan posisi membidik. "Aku mengatasi sisanya" lanjut Bung Toni.

"Aku Bung?" tanya Aslan menunjuk dirinya sendiri dengan wajah protes.

"Alamak.. ya siapa pula yang harus melakukan itu. Di sini cuman ada kau" kata Bung Toni jengah.

Siaalll.. Sialll...
Batin Aslan.

"Nihh.. kau lempar ini granat ke tengah barisan lalu kau lari sekencang kencangnya" perintah Bung Toni sambil menyodorkan satu granat.

"Gaada rencana B kah?" lemas Aslan.

"Kau ini.. apa pula rencana Alpabet kau bawa-bawa"

Pemuda itu lagi-lagi harus menerima kesialan yang menimpanya. Dengan lemas lengannya menerima granat yang lumayan berat itu. Aslan mulai mengendap ngendap dengan mulut ngedumel tidak terima. Merutuki nasibnya dengan menggetok getok kepalanya. Lengannya terus bergerak dengan posisi tiarap, perlahan lahan, hingga kini mereka berdua terpisah.

°~~~°

Nanang mengusap keringatnya letih. Di ikuti para rekan seperjuangan itu. Mereka mau tidak mau harus melaksanakan perintah yang di suruh Bung Toni. Mengubur para pahlawan revolusi yang gugur. Dayat dan Umar dua korban yang berakhir tragis. Nanang yang menjadi satu satunya saksi terus terusan di pertanyai oleh pertanyaan demi pertanyaan.
Liang lahat yang di buat dengan bambu dan tangan alat seadanya. Tanpa cangkul yang memang berada di pengungsian. Jarak yang cukup jauh untuk sekedar mengambilnya. Setelah rehat mereka saling bertatapan memberi tanya dari raut wajah. Langkah apa yang akan mereka ambil. Menyusul Kopral Toni atau melangkah mundur mengambil bala bantuan.

" Sampeyan ngga kenapa napa?" tanya Iwan kepada Nanang. Nanang hanya menggeleng letih.

Mereka kompak berdiri saat Nanang berdiri. Para warga desa hanya bisa mengikuti intruksi selanjutnya dari orang yang lebih paham akan peperangan. Yaitu Nanang.

"Apa langkah yang harus kita ambil sodara" kata Oka memecah keheningan.

"Kalian tidak takut resiko, Seperti yang di alami rekanku?" ujar Nanang. Netra hitam Oka reflek melihat kuburan dengan nisan yang tertancap bambu.

"Mati itu pasti dan saya ingin mati secara terhormat seperti mereka. Daripada diam sebagai pecundang yang tidak ikut terlibat perang" jawab Oka menggebu sambil menepuk pundak Nanang.

Nanang tersenyum. Ia cukup mengapresiasi jiwa patriotisme dari Oka dan yang lainnya. Setelah melihat kegigihan rekan barunya. "Kita buktikan bambu runcing ini lebih tajam daripada peluru mereka" ucap Nanang sambil mengangkat bambu yang tadi tergeletak. Di ikuti senyum mengembang Oka, Iwan dan Dudi.

Mereka berempat kini melangkah maju dengan yakin. Kembali ke arah sungai yang tidak jauh dari tempat penguburan. Nanang yang berada paling depan mengikuti jejak darah yang sudah mengering itu, seperti yang di lakukan Bung Toni dan Aslan.

Di sisi lain Aslan yang sedang gemetar hebat sambil memegang granat aktif yang siap di lempar. Sorak sorai para Tentara cukup membuat Aslan bergidik ngeri. Terus terusan memantapkan nyalinya agar menjadi siap. Ini bukan batu yang biasa di lempar saat tawuran melainkan alat peledak yang bisa membunuh nyawa manusia dalam sekejap. "Nihh gua kasih tau mental anak STM" kata Aslan entah pada siapa. Meniup niup terlebih dahulu seperti hendak melayangkan pesawat kertas. Aslan segera jongkok. Jemarinya di masukan ke kuncian granat untuk siap menariknya.

Degg..

Degg..

Deggg...

Detak yang berdetak hebat tidak bisa ia tutup tutupi. Keringat kini mulai membasahi telapak tangan.

Bersamaan dengan sorak sorai para Tentara, Aslan reflek berdiri lalu menarik penguncian itu dengan kencang. Lengannya ia ayunkan kencang ke arah kumpulan Tentara. Keringat lengan yang cukup banyak dan licin membuat target pelemparannya meleset dan mengarah ke mobil truk yang sedang terparkir rapih.

Duuuaaarrrrrrr...

Ledakan granat mengenai kolong mobil teruk hingga membuat mobil terangkat dan terguling.

Bangsat!! Malah meleset. Batin Aslan kesal.

Tidak ada korban jiwa dari ledakan itu. Para tentara yang kaget reflek tiarap dan sebagian lainnya berlari ke arah pondok dan keluar sambil memegang senjata. Salah satu Tentara yang melihat Aslan menunjuk nunjuk anak itu.

Mati gua. Batin Aslan.

Aslan pucat pasi, kini dirinya tertangkap basah. Kaki yang gemetar ia majukan dua langkah. "STM Boedoet 806 MOM nihhh...!!!" teriak Aslan menantang sambil mengacungkan jari tengah. Setelah melakukan aksi yang tidak berguna itu Aslan berlari ke arah semak-semak. Di ikuti suara tembakan yang mulai meletus.

Dooorr..

Doorrr..

DOOrrr..

Dooorr...

Puluhan peluru panas mulai berterbangan mengikuti kepergian Aslan yang berlari tunggang langgang, tanpa tujuan.

Melihat pelaku melarikan diri puluhan Tentara mulai mengejarnya dengan amarah.
Terus terusan melepaskan peluru dengan membabi buta. Melihat peluru yang tiada henti hentinya melewati tubuh kurus ini. Aslan semakin mengencangkan laju kakinya. Hingga memberi jarak cukup jauh antara dia dan musuh.

"Aaaaa...." teriak Aslan tidak bisa menutupi rasa takutnya, sambil terus melaju kencang.

ColonialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang