Chapter XV

58 13 1
                                    

Aslan berjalan santai menikmati sisa rokok yang terselip di jemarinya. Kini rasa bangga tercipta di dalam hatinya, membuat bibir remaja itu tidak berhenti tersenyum. Langkah percaya diri membawanya masuk terus kedalam hutan lebat Surabaya.

Sadar akan luka tembak di lengan kanannya Aslan terduduk lesu di pinggir pohon jati yang cukup besar. Tubuhnya ia sandarkan letih, dengan beberapa hirupan nafas berat. Matanya kini memperhatikan luka yang masih mengeluarkan darah. Segera ia menyobek baju untuk membuat tali lalu mengikat kencang ke lukanya, agar bisa sedikit menahan keluarnya darah segar.

Sepuluh menit usai, Aslan kembali menegakan tubuhnya lalu kembali melanjutkan perjalan. Ia teringat pejuang hebat dan nekad yang sekarang sedang berjuang mempertaruhkan hidupnya. Bung Toni!!

Kini matanya menatap objek bulat terang bernama Matahari yang kini bersinar hebat di atasnya. Mencari arah agar dirinya tidak salah mengambil jalan. Ia ragu akan langkahnya. Kompas yang ia bawa tertinggal di dalam tas yang di sembunyikan di bawah kasur rotan. Otak survivalnya bekerja alami, kini ide sederhana muncul agar ia tidak tersesat menentukan mana Timur dan Barat. Aslan mengambil ranting kayu lalu menancapkan di tanah hingga ranting itu di biarkan berdiri. Ranting kini tersorot cahaya hingga menampilkan bayangan panjang di balik kayu. Remaja itu kini tersenyum, karena keputusan arah mana yang harus ia tuju sudah di putuskan.

°~~~°

Nanang kini sampai di ujung jalan beralaskan tanah berwarna kuning, dengan membuat kode lewat jemari kini para gerilyawan yang di bawa Nanang bersiaga. Mengambil langkah untuk bersembunyi dan berhati hati. Mata mereka menelusuri bangunan-bangunan kayu yang berjejer itu. Terlihat dari bendera berwarna Merah Putih Biru sudah di pastikan tempat ini sarang bagi para penjajah negri.

Oka meneguk ludah berat, melihat beberapa Tentara berjejer rapi dengan senjata lengkap. Mereka berempat menginginkan menang, namun kenyataanya Iwan berpikir mereka hanya mengantarkan nyawa untuk di pertaruhkan.

Tak ada yang bersuara, hanya detak jantung yang berguncang di dalam dada yang terus terusan terasa. Mereka terdiam memperhatikan semua yang ada di depan di balik semak yang menutupi kelompok gerilya. Suasana semakin mencekam ketika gumpalan awan hitam menaungi bumi Surabaya. Tanda hujan akan jatuh untuk memberi basah.

"Hey Bung, apa kita akan memulai?" tanya Iwan ragu. Mendengar pertanyaan Iwan membuat Nanang ikut ragu karena perbedaan jumlah yang sangat terlihat.

Sebagai pemimpin Nanang hanya tersenyum getir seakan memberi jawaban Iwan tanpa kata. Setidaknya Nanang berusaha menutupi ketakutan yang menyelimuti hatinya dengan wajah yang di pasang setenang mungkin. Entah apa yang mereka tunggu, kini hujan turun tanpa permisi membasahi apapun yang berada di bawahnya. Memberi udara dingin yang mulai menusuk beriringan dengan jutaan tetesan air surgawi yang jatuh. Tak lama kilatan cahaya berakar muncul di sela gumpalan awan hitam. Beberapa tentara Belanda mulai mencari perlindungan untuk berteduh, ada yang masuk ke dalam pondok kayu dan ada yang berjaga di pos gerbang pintu masuk.

Baju mulai basah, badan mulai kedinginan, tapi sorot mata para pejuang masih terbakar dengan api kemarahan. Sorot tajam yang mengisyaratkan ketidak relaan terhadap penjajahan yang terus mengintimidasi para pribumi.

"Lihat Bung.." tunjuk Dudi yang berada tepat di samping Nanang.

Mata Nanang reflek mengikuti arah jari telunjuk rekan gerilyanya itu. Terlihat beberapa kendaraan hangus di samping lapangan. Beragumen tentang sebuah penyerangan hebat yang pasti sudah terjadi beberapa jam sebelum mereka sampai kesini.
Sekilas muncul di dalam otaknya tentang bayang Bung Toni dan anak muda pemberani yang entah datang dari dunia mana. Rasa khawatir sedikit muncul di dalam dirinya bertanda tanya tentang bagaimana nasib sang pemimpin.

ColonialDove le storie prendono vita. Scoprilo ora