Chapter IX

86 11 0
                                    


  Aslan terbangun dari lelapnya. Membuka indra penglihatannya menyesuaikan dengan kadar cahaya yang masuk ke dalam mata. Perlahan lahan. Badanya terasa remuk karena kejadian demi kejadian terus menghampirinya kemarin.

"Kau sudah bangun anak muda" kata Toni. Salah satu Tentara Indonesia berpangkat Kopral yang semalam berbincang panjang dengan Aslan. Pria berjenggot itu terlihat sedang memanggang ikan segar di atas api unggun. Tiga rekan lainnya terlihat masih terlelap.

   Toni menghampiri Aslan lalu menyodorkan Ikan yang sudah terlihat hitam matang. "Makan.. dulu" ucapnya ramah "Anak muda macam kau itu harus banyak makan biar kuat" lanjutnya.

   Aslan menerimanya dengan senyum mengembang. "Makasi pak" kata Aslan lalu melahap ikan panggang dengan hati-hati. Di sela-sela hening. Kopral Toni memulai percakapan.

  "Aku masih belum paham kau datang dari masa depan" ucapnya sambil memakan ikannya. "Sampe-sampe aku tidak tertidur semalaman, karena hal itu"

   Aslan memakan ikan dengan sangat lahap hingga menghiraukan pembicaraan Toni sang Kopral. Melihat Aslan sedang fokus dengan makanannya Toni hanya tersenyum tanpa protes karena tidak mendapat jawaban.

   Rasa lelah karena ikut menggali liang lahat membuat Aslan merasakan lapar yang amat sangat paginya. Setelah melakukan pemakaman untuk para pejuang yang gugur Aslan dengan ke empat pribumi melangkahkan kakinya ke atas bukit. Ke tempat persembunyian yang berada di gua belakang bukit. Dari atas terlihat kampung kosong yang Aslan singgahi sebelumnya. Aslan ingat akan peralatan yang ia tinggalkan di salah satu rumah. Benda-benda penting baginya dan harus segera di ambil. Aslan bangkit dari duduk lalu berdiri mendekati Toni sang Kopral. "Kita berada dimana?" tanya Aslan.

"Surabaya" ucap Toni.

  Mata Aslan membulat seakan kaget akan pernyataan Kopral Toni. Imajinasi Aslan kini terbang ke salah satu kota yang baru ia dengar. Surabaya. Kota para pejuang kemerdekaan di masa lampau. Kota tempat lahirnya para pahlawan kemerdekaan, dengan nama tokoh besar yang paling di ingatnya. Bung Tomo!
 
Aslan tau Surabaya. Gedung-gedung, patung  Hiu dan Buaya, tempat wisatanya. Juga sejarahnya.

Jadi ini Surabaya. Batinnya.

"Anak muda, siapa nama kau?" ucap Kopral Toni memecah lamunan Aslan.

"Aslan Xavier pak"

"Eee.. janganlah kau memanggilku bapak, aku bukan bapak kau" ucap Kopral Toni. "Panggil saja Bung Toni" lanjutnya.

  Aslan terkekeh kecil melihat sikap bersahabat dari Bung Toni. Semuanya menerima dia dengan baik meski kedatangannya kadang patut di pertanyakan lebih detail. Kali ini mereka fokus pada lamunan masing-masing. Menatap api unggun yang sudah mengecil. Mata Aslan menatap tiga pejuang yang masih terlelap di bebatuan gua yang di beri alas jerami hingga menjadi empuk.

  Di sela hening terdengar suara pesawat tempur melintas di atas langit, dengan deru mesin yang sangat nyaring. Aslan segera berjalan ke arah mulut gua untuk melihat pesawat itu secara sembunyi-sembunyi. Terlihat tiga pesawat lewat dengan kecepatan tinggi. Aslan tau pesawat itu. Dengan tipe Avro-504k. Salah satu pesawat andalan Belanda pada jaman penjajahan.

"Tenang saja anak muda. Kita aman di sini" kata Bung Toni menenangkan. Karena dari raut wajah Aslan terlihat kekhawatiran yang jelas. Bung Toni sekarang mendekati anak muda tampan yang sedang gelisah itu. Sambil menepuk pundaknya Bung Toni mengajak Aslan untuk berburu. Aslan mengiyakan ajakan itu. Karena menurutnya ia harus mengenal lebih jauh setiap keadaan yang ada di sini.

°~~~°

  Di perjalanan Aslan sempat menceritakan tentang sandera yang baru di tangkapnya semalam. Ia ingat lokasi dimana ia berhasil mengalahkannya. Satu tendangan mengenai wajah. Aslan tersenyum tipis mengingat kejadian itu.

ColonialWhere stories live. Discover now