LARGAS || 21

846 67 5
                                    


21. Kembali teringat

Hari minggu yang biasanya ditunggu-tunggu oleh Largas, telah tiba

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hari minggu yang biasanya ditunggu-tunggu oleh Largas, telah tiba. Tapi kali ini, Largas sama sekali tidak bersemangat untuk melakukan aktivitas, contohnya seperti olahraga. Jadinya, cowok itu hanya berdiam diri di kamar sambil memainkan ponselnya.
Cahaya matahari  dari jendela mulai menyorot tubuh Largas yang tengah terbaring tanpa baju, cowok itu hanya mengenakan boxer hitam, sesekali Largas menggaruk dadanya yang tersa gatal entah karena apa.

Tidak lama, suara pintu dibuka dari luar, mengalihkan pandangan Largas. Di sana sudah terdapat, Hana adiknya yang tengah tersenyum imut ke arah Largas. "Abang, kata Bunda bangun makan."

Largas mengubah posisi tidurnya jadi menyamping, kemudian mematikan ponselnya dan menaruh benda itu di atas kasur tepat di sampingnya. "Nanti aja," kata Largas. Hana tidak langsung ke luar kamar, gadis kecil berusia 9 tahun itu malah semakin mendekat ke arah Largas.

"Harus  sekarang, nanti Bunda marah," tutur Hana duduk di tepi ranjang.

"Enggak akan, sana Hana aja yang makan. Abang lagi mager, nanti kalo laper Abang langsung makan." Largas menyuruh Hana pergi dari kamarnya, bukan apa-apa, hanya saja Largas ingin sendirian. Soalnya jika Hana sudah berada di kamarnya, pasti adiknya itu akan merecokinya.

"Hana udah tadi," ucap Hana terdengar kesal, karena Largas mengusirnya. Hana ikut berbaring di samping Largas, dan memainkan ponsel Largas entah bagaimana Hana bisa mengetahui pinnya.

"Jangan bandel, tau dari mana pinnya? Itu namanya  gak sopan, harus izin dulu," nasihat Largas sambil mengusap rambut panjang Hana.

"Gapapa, kan kamu abangnya Hana. Jadi gak perlu izin dulu," balas Hana.

"Tetep aja, Abang gak suka. Itu privasi, apalagi sekarang Hana udah gede, udah bisa baca. Pake buka wa Abang segala. Itu gak sopan, bilangin Bunda mau? Biar dimarahin." Sontak Hana menggeleng, dia segera memberikan ponselnya pada Largas, kalau sudah ada  kata 'Bunda' pasti anak-anaknya Bunda Alisya bakalan takut.

"Kenapa tuh? Lagi ngomongin Bunda ya?" Bunda datang sambil membawa nampan  di tangannya.

"Enggak kok, Bunda." Hana segera menjawab, dia takut jika Largas akan mengadukan kelakuannya pada Bunda. Hana takut Bundanya marah, karena marahnya Bunda sangat berbeda. Bunda akan mendiami anak-anaknya jika mereka melakukan kesalahan, kan tidak enak jika seperti itu.

"Iya, Bunda percaya," sahut Bunda terkekeh. Bunda juga ikut duduk di tepi ranjang, setelah menaruh nampan di nakas. Kemudian wanita yang masih terlihat sangat muda itu menatap kedua anaknya yang tengah berbaring.

"Kenapa gak turun sayang?" Bunda bettanya pada Largas, belakangan ini Largas jarang sekali makan bareng. Sudah di suruh pun tetap tidak turun ke bawah, sama seperti sekarang.

"Mager, Bun," kilah Largas. Sebenarnya Largas sangat malas bertemu dengan Galih, adiknya yang sangat menyebalkan itu. Entah kenapa sekarang Largas selalu dijauhi oleh orang terdekat, padahal Largas tidak tau apa kesalahannya.

Largas juga sebenarnya tidak ingin seperti ini, ia menginginkan hidup damai, tetap berdamai bersama teman-temannya hingga keluarganya. Rasanya hidup dalam permusuhan itu tidak enak. "Jangan bohong sama, Bunda. Karena Galih? Bunda udah ngomong baik-baik sama dia biar kalian gak berantem lagi, udah ya. Jangan berantem mulu, gak enak diliatnya," peringat Bunda.

Largas bersandar pada kepala ranjang. "Bun dengerin Agas, agas gak pernah nyari gara-gara. Galih tuh yang mulai duluan, nyalahin Agas terus," keluh Largas mengalihkan pandangan pada jendela kamar di samping.

Bunda menghela napas kasar, kemudian mengusap rambut Hana yang sekarang tengah berada di pangkuannya. "Bunda gak nyalahin, Agas. Kapan Bunda nyalahin Agas?" tanya Bunda menatap intens anak  pertamanya itu.

Largas memilih tidak menjawab, rasa kesal kembali datang memenuhu dirinya. "Bunda cuman mau kalian baikan, biar liatnya adem. Bunda juga mau, keluarga kita harmonis kaya dulu lagi," lanjut Bunda.

"Ya bilangnya ke Galih lah. Masa Galih yang mulai, Agas yang harus minta maaf," kesal Largas.

"Coba kamu pikirin kesalahan kamu di mana, mana mungkin Galih marah sama kamu tanpa ada penyebabnya," tutur Bunda semakin membuat Largas emosi.

"Emang apa kesalahan, Agas? Agas gak pernah tuh cari gara-gara sama tuh anak, emang dasar anaknya aja yang suka caper. Biar diperhatiin terus," ketus Largas.

Okee sekarang Bunda kalah, dia memilih diam tapi pandangannya tetap mengarah pada Largas. Mata Bunda sudah berkaca-kaca, sifat Largas yang seperti ini mengingatkannya kembali pada masa lalu yang tidak pernah bisa ia hilangkan dari otaknya. Bukan hanya sifat, tapi caranya berbicara, hingga posisi duduk sangat mirip dengannya. Jika pahatan sempurna itu, jangan ditanyakan lagi, mungkin ini adalah cara Tuhan untuk menggantikan  posisi dia di dalam hidup Bunda.

"Bener-bener mirip kamu," gumam Bunda lirih.

"Bener-bener mirip kamu," gumam Bunda lirih

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
LARGAS [Selesai]Where stories live. Discover now