Bab 2

1.4K 199 19
                                    

"Apa mereka sedang melakukan akrobat di dalam sana?" sindirku, setelah melihat sikap Paman Hue yang seolah sedang tak terjadi apa-apa.

Lelaki paruh baya dengan rambut tipis berkulit coklat kemerahan itu menarik napas dan mengembuskannya, lalu mendekatkan wajah padaku.

"Peraturan pertama, jangan pernah mencampuri urusan majikanmu. Kau mengerti?" ucapnya tegas, lalu menarik --setengah menyeret-- lenganku untuk segera menjauh dari sana.

Masih sempat kudengar teriak bersahutan dari dalam kamar. Tapi melihat bagaimana ekspresi Paman Hue, aku berhenti menganggap itu sebagai hal serius. Mungkin saja sepasang suami istri itu sedang bercinta. Bukankah ungkapan cinta orang-orang kaya seringkali dilakukan dengan cara berbeda? Kata masokis segera berkelebatan di kepalaku, bersamaan dengan setiap detil adegannya. 

Well- aku mengerti.

Kami melangkah kembali ke wilayah masing-masing, maksudku dapur luas itu. Terlihat Vivian dan Nilufer yang sedang bercakap sambil sesekali tertawa. Lirikan mata mereka sempat tertuju padaku, kemudian kembali berbisik-bisik seolah baru saja melihat binatang sirkus lewat di hadapan.

Paman Hue mengajakku ke sisi ruang yang lain. Ruangan yang sepertinya menjadi tempat khusus pekerja pria beristirahat dan saling bicara.

Kulihat salah satu security duduk di sofa sambil menikmati secangkir kopi. Dan aku heran, kenapa Paman Hue membawaku sebagai seorang sopir padahal aku lebih berminat menjadi seorang penjaga.

Maksudku, seragam dan walkie talkie itu, terlihat jauh lebih berwibawa daripada seragam dan topi sopir. 

"Jadi dia keponakanmu?" Pria bertubuh tinggi besar dengan name tag Salimgerey itu menoleh dan menunjukku dengan dagu bulatnya. 

Paman Hue mengangguk. Lalu kami saling mengobrol tentang latar belakang dan pengalaman. Sampai di sini, semua masih baik-baik saja. 

 ***

      "Tadi pagi Tuan Leonel pergi dengan wajah masam." 

"Apa kau pikir pernah melihat lelaki itu dengan senyum lebar? Memang wajahnya selalu masam."

"Kasihan Nyonya. Tuan Leonel seperti tidak pernah menganggapnya ada."

"Pernikahan orang kaya memang seaneh itu."

Vivian dan Nilufer terus berbisik-bisik di seberang meja saat kami sarapan bersama pagi ini. Kadang suara mereka cukup mengganggu, tapi terkadang cukup membuatku penasaran. Diam-diam aku mendengarkan.

Teriakan-teriakan semalam memang tak menandakan kebahagiaan. Tapi bukankah itu aneh? Wanita itu sangat cantik, nyaris sempurna seperti halnya putri bangsawan yang selalu kulihat di acara-acara televisi. Rumah ini begitu besar dan memiliki banyak pekerja, jadi jelas bukan karena uang. Lalu apa alasan mereka tidak bahagia?

"Oris." Tiba-tiba terdengar Nyonya Gulnora memanggil.

Suapanku terhenti, aku menoleh pada wanita yang posisi bahunya tampak selalu tegap saat berdiri itu.

Segera kuletakkan sendok, lalu memutar tubuh kepadanya. "Ya, Nyonya?" 

"Nyonya Alaia memanggilmu." Wanita itu menjawab singkat, masih dengan gestur dagu terangkat, kemudian berbalik pergi meninggalkan meja makan khusus pelayan dengan diiringi irama detak sepatu pantofel yang dikenakannya.

Vivian dan Nilufer kembali berbisik-bisik, kali ini mereka sesekali melirik ke arahku.

Aku segera menyambar gelas dan meminum air putih. Mengelap mulut dengan tissue, lalu melangkah cepat mengikuti langkah wanita itu.

Di ujung lorong sana, tepat di depan kamarnya, Nyonya Alaia tampaknya telah menunggu. 

.

      Kami meluncur di jalan raya kota. Melewati jajaran gedung-gedung tinggi pencakar langit. Hotel, restorant dan tempat-tempat yang nyaris tak pernah kukunjungi sama sekali.

Di belakang, Nyonya Alaia --yang mengenakan terusan warna ungu gelap-- tetap diam dengan wajah digelayuti mendung. Sesekali ia menghela napas, lalu mengumpat pelan. Beberapa saat aku melirik lewat kaca spion, tatapan kami bertemu, lalu kembali kualihkan ke jalanan di depan sana.

Setelah beberapa menit tak tahu ke mana tujuan kami, akhirnya Nyonya Alaia memintaku membelokkan mobil memasuki halaman sebuah hotel berbintang lima.

Baru saja aku mematikan nyala mesin mobil, saat akhirnya menyadari sesuatu. 

Itu mobil mewah milik Tuan Leonel.

Apa ini artinya Nyonya ke sini karena Tuan Leonel? Apa mereka akan menikmati hari di hotel?

Aku akan beranjak turun untuk membukakan pintu wanita itu, tapi Nyonya Alaia segera mencegah.

"Tidak perlu keluar, Oris. Aku hanya sedang menunggu." 

"Baik, Nyonya." Aku menjawab ragu. 

Menunggu? Menunggu apa? Di tempat parkiran seperti ini? 

Selama hampir dua puluh lima menit kami duduk diam di dalam mobil. Tak ada pembicaraan. Dan aku hanya mengamati bagaimana para pria perlente dan wanita kelas atas berjalan keluar masuk hotel mewah ini.

Rasa bosan mulai menyergap. Aku mengalihkan pandangan ke sisi lobi yang satunya. Lalu pandanganku terhenti.

Di depan sana, berjalan sambil bergandengan tangan dengan begitu mesra, Tuan Leonel dengan seorang wanita.

Bahkan pria itu sempat mengecup bibir sang wanita saat membukakan pintu mobil, lalu membiarkannya masuk dengan begitu sopan dan hati-hati. Layaknya sikap seorang raja pada sang permaisuri. 

Tanpa sadar aku kembali melirik wajah Nyonya Alaia. Kemudian menyadari, sepasang mata itu sudah memerah dan dipenuhi kaca-kaca.

Dengan gerakan tiba-tiba, Nyonya Alaia membuka pintu mobil, lalu berjalan cepat menuju Tuan Leonel yang tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

Kudengar Nyonya Alaia berseru kesal, lalu ….

PLAKK!

Aku mengumpat.

Nyonya Alaia jatuh tersungkur di atas paving setelah Tuan Leonel menamparnya. 

.

BLACK HOUSEWhere stories live. Discover now